Minggu, 09 Januari 2011

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REFLEKTIF PENELITIAN TINDAKAN KELAS

A. PENDAHULUAN
Dinamika kehidupan masyarakat di era globalisasi abad 21 menuntut sumber daya
manusia yang berkualitas dan profesional, serta memiliki kompetensi di pelbagai bidang
kehidupan. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya (Sisdiknas, 2003). Dengan demikian, pendidikan yang bermutu diharapkan dapat
mempersiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia yang dituntut masyarakat
pada abad 21.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan, adanya tuntutan terhadap mutu
pendidikan SD yang sampai saat ini masih memprihatinkan; isu permasalahan mutu guru
SD berkenaan dengan motivasi, kualifikasi pendidikan, dan kompetensi; mutu LPTK baik
dari aspek masukan, proses maupun produk lulusannya. Peraturan pemerintah no.19
tahun 2005 memsyaratkan kualifikasi akademis pendidikan guru SD minimum D-4 atau
S-1, dan memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
Berdasarkan itu, maka program S1-PGSD sebagai LPTK yang berkewajiban
mempersiapkan guru SD, perlu mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran yang
dapat membekali mahasiswanya dengan kemampuan-kemampuan agar dapat
melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional di SD.
Pengembangan model pembelajaran pada pendidikan guru didasari oleh
kecenderungan penelitian pendidikan guru (Pintrich, P.R, 1990). yang berupaya
mempertemukan model mengajar guru dengan model belajar siswa (social-cognitive
perspectives), menekankan guru sebagai pelajar dan peneliti (teacher as learner and
reseacher). Kemampuan reflektif diasumsikan dapat membekali mahasiswa program S1-
PGSD dalam melaksanakan tugas mengajar di SD dengan segala tuntutan dan
perubahannya. Asumsi ini didasarkan pada pandangan Ginsberg & Cliff dalam
tulisannya di Handbook of Research on Teacher Education (1990:454-455), Dunkin, MJ
& Biddle, B.J (1936) dan LaBoskey (1993) yang mengungkapkan bahwa mengajar
merupakan praktek reflektif, dan perlunya calon guru terlebih dulu belajar bagaimana
caranya belajar melalui pengalaman, dengan cara merenungkan dan merekonstruksikan
struktur kognisinya.
Pada standar kompetensi guru kelas (SKGK) SD/MI S1-PGSD, unsur reflektif
tersurat pada rumpun kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan tersirat pada
rumpun kompetensi sosial sebagai dampak pengiring pembelajaran. Kemampuan reflektif
memungkinkan mahasiswa sebagai guru SD merefleksikan pengalaman mengajarnya dan
mengambil hikmah, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
mutu pembelajaran selanjutnya dan pendidikan SD.

Permasalahan
Sebelum merumuskan masalah penelitian, perlu diperhatikan fokus pengembangan
yaitu model pembelajaran. Pembelajaran terdiri dari komponen-komponen pembelajaran
sebagai suatu sistem yang terkait satu dengan lainnya. Komponen dalam pengembangan
model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa S1-PGSD
disajikan dalam bagan sebagai berikut .

.









Komponen Pembelajaran sebagai Sistem
Instrumental Input
- Kebijakan pend. Guru (SD)
- Program dan kurikulum
- Personil: kaprodi, dosen, TU
Raw Input
Mahasiswa
S1-PGSD

PROSES
PEMBELAJARAN
Output
Kemp. reflektif mhs
meningkat
Enviromental Input
Tuntutan masyarakat dan perkem-
bangan Ipteks abad 21 terhadap
guru SD
2

3

Proses pembelajaran mahasiswa program S1-PGSD (raw input) menjadi
mahasiswa yang sekaligus bekerja sebagai guru SD meningkat kemampuan reflektifnya
(output), dipengaruhi oleh masukan lingkungan (enviromental input) dan masukan
sarana/instrumental (instrumental input). Masukan lingkungan yang perlu
dipertimbangkan adalah tuntutan masyarakat dan perkembangan Ipteks abad 21 terhadap
guru SD. Masukan sarana/instrumental yang mempengaruhi proses pembelajaran adalah
strategi kebijakan pendidikan guru, program dan kurikulum, personil (ketua program
studi, dosen, tata usaha), dan sarana prasarana yang menunjang.
Dengan memperhatikan latar belakang masalah dan pembelajaran sebagai suatu
sistem, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
seperti apa yang tepat untuk meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa program S1-
PGSD. Secara spesifik difokuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi pembelajaran/perkuliahan, termasuk faktor pendukung dan
penghambat pembelajaran di program S1-PGSD (saat survei awal, September 2004)?
2. Bagaimana model desain pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
reflektif mahasiswa program S1-PGSD ?
3. Bagaimana implementasi model pembelajaran tersebut pada mata kuliah Penelitian
Tindakan Kelas di program S1-PGSD?
4. Bagaimana dampak penggunaan model pembelajaran tersebut terhadap kemampuan
reflektif mahasiswa program S1-PGSD?
5. Apa karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran yang
dikembangkan?

Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa program S1-
PGSD pada mata kuliah Penelitian Tindakan Kelas. Secara khusus, bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasikan kondisi pembelajaran/perkuliahan program S1-PGSD pada saat
survei awal, September 2004.
2. Menemukan model desain pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
reflektif mahasiswa program S1-PGSD.
3. Mengetahui implementasi model pembelajaran tersebut pada mata kuliah Penelitian
Tindakan Kelas.
4

4. Mendapatkan data perbedaan kemampuan reflektif mahasiswa sebelum dan sesudah
menggunakan model pembelajaran
5. Mengidentifikasikan karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran
yang dikembangkan.

Manfaat Penelitian
Dengan dihasilkannya model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
reflektif mahasiswa program S1-PGSD, maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, diharapkan dapat menghasilkan prinsip-
prinsip dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa
program S1-PGSD, sehingga dapat memperkaya teori mengenai model pembelajaran
yang telah ada. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai
masukan bagi:
1. Program studi S1-PGSD dalam menyelenggarakan pendidikan persiapan (pre-service)
yang mempersiapkan mahasiswanya lebih bermutu dan profesional dalam
menjalankan tugasnya sebagai guru SD.
2. Tenaga pengajar (dosen) program S1-PGSD khususnya yang mengampu mata kuliah
Penelitian Tindakan Kelas dalam mengembangkan dan mengimple-mentasikan model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswanya.
3. Mahasiswa program S1-PGSD menjadi lebih dipersiapkan dengan kemampuan
reflektif dalam melaksanakan tugas secara profesional dan memiliki kompetensi
dalam menghadapi masalah dan meningkatkan mutu pembelajaran di SD.
4. Peneliti lain yang tertarik untuk menambah wawasan dan pengetahuannya dalam
mengembangkan model pembelajaran, khususnya model pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan reflektif pada pendidikan guru SD.

5

B. KAJIAN TEORI
Kajian teori yang mendasari dan relevan dengan penelitian ini mengenai
pengembangan model pembelajaran (konsep dasar pembelajaran, macam model
pembelajaran, pengembangan model pembelajaran), dan kemampuan reflektif (berfikir
dan sikap reflektif). Selain itu juga dikaji mengenai strategi kebijakan dan kompetensi
guru SD), dan konsep dasar PTK. Namun pada makalah ini, kajian teori ditekankan pada
pengembangan model pembelajaran dan kemampuan reflektif.

Pengembangan Model Pembelajaran
Menurut Oliva (1992:413), “models of teaching are strategies based on theories
(and often the research) of educators, psychologist, philosophers, and others who question
how individual learn”. Hal ini berarti setiap model mengajar atau pembelajaran harus
mengandung suatu rasional yang didasarkan pada teori, berisi serangkaian langkah strategi
yang dilakukan guru maupun siswa, didukung dengan sistem penunjang atau fasilitas
pembelajaran, dan metode untuk mengevaluasi kemajuan belajar siswa.
Terdapat beberapa model mengajar/pembelajaran antara lain model pemrosesan
informasi, kelompok personal, kelompok sosial, dan kelompok perilaku (Joice & Weil,
1986); model pembelajaran kompetensi, pembelajaran kontekstual, pembelajaran mencari
dan bermakna, pembelajaran berbasis pengalaman, pembelajaran terpadu, dan
pembelajaran kooperatif. (Sukmadinata, 2004); model pendidikan guru berbasis akademik,
performansi, kompetensi, lapangan, pelatihan, pengajaran mikro, internship, jarak jauh, dll.
Sebelum membahas proses pengembangan suatu model pembelajaran, perlu
dibahas mengenai pengertian dan prinsip pembelajaran, konsep pembelajaran abad 21
yang didasarkan pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to be,
dan learning to live together, belajar sepanjang hayat pada pelajar orang dewasa,
pembelajaran bagaimana caranya belajar (learning how to learn), dan pembelajaran
berfikir (teaching for thinking).
Proses sistematik dalam mengembangkan pembelajaran pada umumnya disajikan
dalam bentuk model pembelajaran. Dalam pengembangan model pembelajaran,
Sukmadinata (2004) mengemukakan mengenai dasar pemilihan pembelajaran (pendekatan,
model ataupun prosedur dan metode pembelajaran) yaitu: tujuan pembelajaran,
karakteristik mata pelajaran, kemampuan siswa dan guru.
6

Pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif
mahasiswa S1-PGSD didasarkan pada pembelajaran sebagai sistem, yang
mempertimbangkan komponena raw input (mahasiswa S1- PGSD sebagai pelajar orang
dewasa dan guru SD yang memiliki pengalaman mengajar), enviiromental input (tuntutan
lingkungan masyarakat dan perkembangan ipteks terhadap guru dan mahasiswa S1-
PGSD), instrumental input (kebijakan pendidikan guru), kemudian merancang/desain dan
implementasi proses pembelajaran (process), sehingga dihasilakan lulusan yang memiliki
kemampuan reflektif (output).

Kemampuan Reflektif
Kemampuan reflektif sebagai hasil atau output dari pembelajaran yang
dikembangkan pada penelitian ini. didasarkan pada konsep reflektif dari John Dewey
berkenaan dengan kemampuan berfikir reflektif dan bersikap reflektif.
Kemampuan berfikir reflektif terdiri atas lima komponen yaitu: (1) recognize or
felt difficulty/problem, merasakan dan mengidentifikasikan masalah; (2) location and
definition of the problem, membatasi dan merumuskan masalah; (3) suggestion of posible
solution, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah; (4)
rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan
cara mengumpulkan data yang dibutuhkan; (5) test and formation of conclusion,
melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai
bahan pertimbangan membuat kesimpulan.
Sikap reflektif yang tidak dapat dilepaskan dari kemampuan berfikir reflektif,
dikembangkan berdasarkan konsep awal dari Dewey yang telah diperluas dan
diaplikasikan oleh beberapa praktisi di bidang pendidikan guru. Dalam artikel jurnal
Teaching and Teacher Education (vol.12.no.1, Januari 1996), Helen L. Harrington cs
mengemukakan dan mengembangkan tiga komponen sikap reflektif yaitu: (1)
openmindedness atau keterbukaan, sebagai refleksi mengenai apa yang diketahui, dalam
pembelajaran ada tiga pola dasar yaitu pola berfokus pada guru, siswa, dan inklusif; (2)
responsibility atau tanggung jawab, sebagai sikap moral dan komitmen profesional
berkenaan dengan dampak pembelajaran pada siswa saja, siswa dan guru, serta siswa,
guru dan orang lainnya; (3) wholeheartedness atau kesungguhan dalam bertindak dan
melaksanakan tugas, dengan cara pembelajaran langsung guru, proses interaktif, dan
proses interaktif yang kompleks.
7

Model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif dikembangkan
berdasarkan pendekatan filosofis konstruktivisme dan psikologi kognitif. Konstruktivisme
dalam pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran
yang didasarkan pada pengalaman (experience is the only basis for knowledge and
wisdom), yang kemudian direorganisasi dan direkonstruksikan. Materi pelajaran harus
memungkinkan siswa belajar bagaimana caranya belajar (learning how to learn) dalam
bentuk studi kasus atau masalah yang perlu dan bermanfaat untuk dicari jalan ke luarnya
(problem solving learning) melalui proses inkuiri diskoveri. Proses pembelajaran berpusat
pada siswa dan keaktifan siswa, guru berperan sebagai fasilitator/mediator dan motivator
yang menstimuli siswa untuk belajar sesuatu yang bermakna melalui pemahaman (insight).
Penilaian dilakukan selama dan akhir proses pembelajaran untuk mengetahui sejauh mana
siswa. membangun suatu pengetahuan atau konsep.
Dalam penelitian ini, model pembelajaran reflektif dikembangkan berdasarkan
konsep Zeichner dan Liston (1996) berkenaan dengan konsep “critical reflection” yang
terdiri dari tiga tahap/tingkat reflektif yaitu (1) technical level, refleksi dilakukan pada
efisiensi aplikasi pengetahuan dalam bentuk cara atau teknik dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan; (2) contextual level, refleksi dilakukan untuk
menemukan keterkaitan antara situasi problematik dengan tindakan yang dilakukan
melalui aplikasi teori sesuai dengan konteksnya; (3) critical level, refleksi dilakukan
berdasarkan pertimbangan kritis, dan nilai-nilai moral/etis.

Selain kedua kajian teori utamaa tersebut, disajikan pula secara singkat tentang
strategi kebijakan pendidikan guru SD didasarkan pada fakta bahwa kondisi objektif
jumlah dan sebaran guru SD di Indonesia sangat kompleks dengan latar belakang
pendidikan dan sosial budaya yang beragam. PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, dan Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,
mensyaratkan kualifikasi pendidikan minimal guru SD ditetapkan sekurangnya sarjana
(S1) atau D4, dan telah mendapat sertifikat pendidik sebagai guru SD melalui pendidikan
profesi. Hal ini membawa implikasi besar dalam pengadaan guru SD. Ditjen Dikti
mengembangkan minimal dua jenis program S1-PGSD yaitu pendidikan pra-jabatan guru
terintegrasi, dan program sertifikasi bagi guru SD yang sudah berkualifikasi S1 agar dapat
menguasai kompetensi profesional guru kelas SD melalui uji kompetensi.
8

Kompetensi guru seperti yang dikemukan pada PP No.19 tahun 2005 meliputi
empat kompetensi yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial. Selanjutnya secara lebih spesifik, standar kompetensi
guru kelas (SKGK) SD/MI lulusan S1 PGSD ( 2006) terdiri atas empat rumpun
kompetensi yaitu:
1. Kemampuan memahami peserta didik secara mendalam
Meliputi pemahaman secara mendalam tentang karakteristik intelektual, sosial, emosional,
dan fisik, serta latar belakang peserta didik sebagai landasan bagi guru atau calon guru
agar mampu mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.
2. Kemampuan menguasai bidang studi
Meliputi penguasaan substansi dan metodologi bidang ilmu (disciplinary content
knowledge) yang bersangkutan, serta kemampuan memilih dan mengemas bidang ilmu
tersebut menjadi bahan ajar sesuai dengan konteks kurikulum dan kebutuhan pesera didi
(pedagogical content knowledge).
3. Kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik
Meliputi kemampuan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, kemampuan
mengases (menilai) proses dan hasil pembelajaran, serta kemampuan menindaklanjuti
hasil asesmen untuk perbaikan pembelajaran secara berkelanjutan.
4. Mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan
Menekankan kemampuan guru dalam memanfaatkan setiap peluang untuk belajar
meningkatkan profesionalitas sehingga pembelajaran yang dikelolanya selalu
mengedepankan kemaslahatan peserta didik.
Standar kompetensi guru ini diperlukan sebagai landasan dan pedoman uji
kompetensi. Berkaitan dengan penelitian ini, maka kemampuan reflektif merupakan salah
satu bentuk kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru SD dalam menjalankan tugas
secara profesional menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang demikan
pesat di era globalisasi abad 21. Dalam Standar Kompetensi Guru Kelas SD/MI lulusan
S1-PGSD (Depdiknas, 2005), kemampuan reflektif termasuk dalam rumpun kompetensi
pedagogik (merancang, melaksanakan dan menilai proses dan hasil pembelajaran),
kompetensi kepribadian (mengkaji strategi berfikir reflektif dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi), kompetensi profesional (mampu menilai dan memperbaiki
pembel-ajaran melalui penelitian tindakan kelas). Juga secara implisit termasuk
9

kompetensi sosial sebagai dampak pengiring melakukan refleksi dengan bantuan teman
secara kolaboratif atas pembelajaran yang dilaksanakannya.
Dengan adanya unsur kemampuan reflektif pada keempat rumpun kompetensi
guru kelas SD/MI lulusan S1-PGSD, maka dapat disimpulkan kemampuan reflektif
merupakan salah satu kemampuan esensial dalam pembinaan kompetensi dan profesional
guru. Dengan meningkatnya kemampuan reflektif, mahasiswa S1 sebagai guru SD dapat
mengembangkan diri pribadi dan karir profesionalnya. Hal ini dikarenakan pada
hakekatnya mengajar merupakan praktek reflektif (Ginsburg and Clift, 1990:454-455)
ataupun refleksi belajar (Dunkin & Biddle, 1974: 21-24), dan perlunya calon guru
terlebih dulu belajar dari pengalaman. (LaBoskey,1993). Kemampuan reflektif
memungkinkan guru SD merefleksikan pengalaman mengajarnya dan mengambil hikmah
atau belajar dari pengalaman, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki dan
meningkatkan mutu dalam melaksanakan tugas sebagai guru secara profesional.

Demikian pula kajian teori berkenaan dengan matakuliah Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) membahas mengenai konsep dasar PTK dan proposal PTK. Berdasarkan beberapa
definisi PTK (McNiff dalam Sukidin, 2002:14) dan Mills (2000:6) disimpulkan penelitian
tindakan kelas merupakan suatu penelitian yang bersifat reflektif, dilakukan oleh guru untuk
meningkatkan kemampuan rasional dari tindakan yang dilakukannya itu, serta untuk
memperbaiki atau meningkatkan kondisi praktek pembelajaran di kelasnya.
Adapun prinsip PTK antara lain: PTK tidak berdampak mengganggu komitmen guru
sebagai pengajar, pelaksanaan PTK tidak menuntut waktu yang berlebihan dari guru
sehingga dapat mengganggu proses pembelajaran, metodologi yang digunakan harus cukup
reliabel sehingga dapat dipertanggungjawabkan, masalah PTK merupakan hal yang cukup
merisaukan guru untuk diatasi melalui tindakan perbaikan sebagai bentuk tanggung jawab
profesional, dan dalam pelaksanaan guru mengikuti prosedur etika penelitian.
Salah satu model PTK yang dikembangkan di Indonesia adalah modifikasi model
sistem spiral refleksi diri dari Kemmis dan Taggart yang terdiri dari:
1. Rencana (plan): analisis masalah dan strategi perencanaan
2. Kegiatan (action): implementasi strategi yang direncanakan
3. Pengamatan (observation): deskripsi kegiatan dengan menggunakan teknik tertentu
4. Refleksi (reflection): evaluasi proses dan hasil sebagai masukan bagi siklus selanjutnya.
10

Selanjutnya, proposal PTK sebagai usulan penelitian pada dasarnya memiliki unsur
atau komponen sebagai berikut: judul penelitian,ang ilmu, pendahuluan, perumusan masalah,
tinjauan pustaka, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, metode penelitian, jadwal
pelaksanaan, sertta lampiran yang diperlukan dan relevan.

Dengan deskripsi kajian teori ini, maka dapat disimpulkan bahwa kajian teori utama
mengenai pengembangan model pembelajaran dan kemampuan reflektif menjadi dasar dan
acuan dalam mengembangkan model pembelajaran dan mengembangkan instrumen
kemampuan reflektif (berfikir dan sikap reflektif). Selanjutnya kajian teori dan data
mengenai strategi kebijakan pendidikan guru (SD) dan penelitian tindakan kelas
melatarbelakangi secara kontekstual di mana model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan reflektif tersebut dikembangkan.

C. METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dan
pengembangan (research and development), yang terdiri dari tiga langkah yaitu studi
pendahuluan, perencanaan dan pengembangan, serta validasi model pembelajaran. Secara
visual dapat dilihat pada gambar berikut.

11

12

Pada pembahasan metode penelitian disajikan pula mengenai subjek dan lokasi
penelitian, serta pengembangan instrumen, teknik pengumpulan dan analisis data.

Tabel 1. Lokasi dan subjek penelitian:

No Program S1-PGSD Dsn Mhs.
tdft diolh
Kls
PTK
Ujicb
Trbts
Ujicb
Luas
UjiVld
eks-ktr
1. Kampus Cibiru 2 32 28 1 V
2. Kampus Purwakarta 2 60 46 2 V - V
3. Kampus Serang 2 61 49 2 V - V
4. Kampus Tasikmalaya 2 82 68 3 V V - V
5. Univ.Negeri Jakarta 2 43 26 2 V - V
6. Atma Jaya Jakarta 1 23 11 1 V
Jumlah 10 301 226 10 1 2 4 - 4

Pemilihan lokasi untuk ujicoba terbatas, ujicoba luas dan uji validasi didasarkan
pada data jumlah kelas rombongan belajar, serta kesiapan dosen yang menjadi mitra
kolaborasi dalam penelitian dan pengembangan ini. S1-PGSD UPI kampus Sumedang
tidak digunakan karena berdasarkan hasil survei awal, S1-PGSD di sana bukan terutama
menyiapkan guru kelas SD tetapi guru olahraga SD,
Pengembangan instrumen kemampuan reflektif: diawali dengan penyusunan kisi-
kisi yang memperhatikan tujuan pembelajaran, indikator, kemudian mengembangkan soal
dan pernyataan. Setelah itu dilakukan ujicoba pertama, validasi ahli, dan ujicoba kedua,
akhirnya ditetapkan soal tes berpikir (5 soal), dan skala sikap reflektif (40 pernyataan)
yang valid dan reliabel.
Teknik dan alat pengumpulan data: penelusuran dokumen untuk mendapatkan
data akurat mengenai kondisi PGSD; wawancara dengan pimpinanatau ketua program
studi, kuesioner kepada dosen dan mahasiswa mengenai proses pembelajaran, observasi
pelaksanaan/implementasi pembelajaran dan pengembangan model pembelajaran; tes
esei dan skala sikap untuk mengetahui kemampuan berfikir dan sikap reflektif
mahasiswa. .Analisis data dsesuaikan dengan data yang dikumpulkan, ada yang dianalisis
secara deskriptif kualitatif, dan ada juga yang dianalisis secara kuantitatif menggunakan
statistik non-parametrik (analisis Wilcoxon Signed ranks test dan Mann Whitney test)
13

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa deskripsi dan interpretasi dikelompokan berdasarkan
tahapan dalam penelitian pengembangan yaitu: (1) hasil studi pendahuluan, (2)
perencana mempersiapkan format pan dan pengembangan model pembelajaran, serta (3)
validasi model pembelajaran. Diakhiri dengan rangkuman mengenai pengembangan
model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa S1-PGSD
pada matakuliah PTK dalam bentuk bagan/gambar.

1. Studi Pendahuluan
Hasil studi pendahuluan terdiri dari dua bagian yaitu: (1) hasil survei awal
sebagai studi lapangan/empiris, dan (2) konsep awal desain model pembelajaran
sebagai hasil studi literatur yang dikaitkan dengan hasil survei awal.

a. Kondisi pembelajaran program S1-PGSD (saat survei awal)
Survei awal bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi pembelajaran termasuk
faktor pendukung dan penghambat di 8 program S1-PGSD yang menjadi lokasi dan
populasi dalam penelitian ini. Dilakukan secara efektif selama bulan September 2004,
dan hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut.
- Data umum: deskripsi mengenai latar belakang, visi, misi dan tujuan S1-PGSD,
keadaan dosen dan mahasiswa, kurikulum dan pembelajaran, kendala dan upaya
meningkatkan mutu pembelajaran.
- Dosen cukup banyak jumlahnya, namun tidak semua dosen dapat bekerja secara penuh
karena mengajar di tempat lain atau studi lanjut. Dosen berpendapat, pembelajaran dan
kemampuan reflektif bermanfaat dan dibutuhkan oleh mahasiswa S1-PGSD.
- Mahasiswa berasal dari program D2-PGSD, sudah dewasa, guru SD, punya
pengalaman mengajar. Mahasiswa berpendapat, pembelajaran di S1-PGSD
bermanfaat, namun tidak semua dosen membahas hasil ujian atau tugas yang
diberikan. Maha-siswa belum terbiasa menilai kegiatan belajarnya sendiri.
- Berdasarkan kondisi pembelajaran, khususnya penelusuran dokumen mengenai
kurikulum, wawancara dengan ketua program, dosen, dan konsultasi dengan
pembimbing, maka dipilih mata kuliah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), serta
ditetapkannya kelas ujicoba terbatas dan luas, maupun validasi dalam pengembangan
model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa.

b. Konsep awal model pembelajaran
Konsep awal model pembelajaran dikembangkan berdasarkan; (1) komponen
pembelajaran sebagai system, (2) kajian teori mengenai kemampuan berfikir dan sikap
reflektif, dan (3) kondisi pembelajaran hasil survei awal. Adapun konsep awal model
pembelajaran disajikan dalam gambar berikut ini.














Gambar 2. Konsep Awal Model Pembelajaran

Konsep awal model pembelajaran tersebut dapat diterapkan dalam konteks
pembelajaran yang nyata, apabila dijabarkan lebih lanjut melalui penyusunan desain
pembelajaran (SAP), yang terdiri dari tujuan, pokok materi, prosedur, sumber dan
media, serta evaluasi pembelajaran. Implementasi pembelajaran difokuskan pada tiga
tahap pembelajaran yakni: (1) tahap reflektif teknikal, menggunakan berbagai
teknik/metode untuk memahami materi yang dipelajari; (2) tahap reflektif kontekstual,
mengaitkan materi yang dipelajari dengan materi lain atau pengalaman; (3) tahap
reflektif kritikal, menganalisis secara kritis materi/masalah yang didiskusikan. Evaluasi
proses pembelajaran dan hasil belajar kemampuan reflektif, serta tindak lanjut untuk
perbaikan pembelajaran selanjutnya.
Instrumental Input
- Strategi kebijakan pendidikan guru SD
- Program dan kurikulum; sarana dan
fasilitas; penilaian pembelajaran.
- Personil (kaprodi, dosen, tata usaha)
Output
Kemampuan reflektif
mahasiswa meningkat
PROSES PEMBELAJARAN
1. Tahap Reflektiff Teknikal
2. Tahap Reflektif Kontekstual
3. Tahap Reflektif Kritikal
Raw Input
Mahasiswa S1-PGSD
-
Enviromental Input
Tuntutan masy dan perkembangan Ipteks abac 21
-

14

15

2. Perencanaan dan Pengembangan Model Pembelajaran
Perencanaan dan pengembangan model pembelajaran melalui ujicoba
terbatas dilakukan di program S1-PGSD Cibiru. Setelah mendapat ijin, mempelajari
silabus dan sumber pustaka matakuliah PTK, mendiskusikan dengan dosen pengampu
matakuliah tersebut, menyusun jadwal dan rencana pembelajaran. Ujicoba terbatas
dilakukan melalui empat putaran pembelajaran. Hasilnya dirangkum sebagai berikut.
- Pentingnya menciptakan interaksi dan suasana kondusif dalam pembelajaran
- Prosedur pembelajaran: 3 jadi 5 tahap (ditambah tahap persiapan dan pemantapan)
- Metode: mahasiswa diberi kesempatan refleksi diri dan berbagi pengalaman
- Rata-rata hasil belajar tiap putaran tidak selalu meningkat, tapi gain cenderung
meningkat (8,04→7,50 →8,21→10,72)
- Peningkatan kemampuan berpikir reflektif (z=3.819>1.64 & 0.00<0.05), sikap
reflektif (z = 3.824>1.64 & 0.00<0.05)
- Revisi dan penyempurnaan instrumen kemampuan reflektif
- Model Hipotetik Pembelajaran (terlampir pada rangkuman model pembelajaran)

Perencanaan dan pengembangan model pembelajaran melalui ujicoba lebih luas
yang dilakukan di S1-PGSD Tasikmalaya dan S1-PGSD Atma Jaya Jakarta. Ujicoba
lebih luas bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran yang
dikembangkan apabila diimplementasikan di tempat lain dengan kondisi yang
berbeda, dan mendapat masukan untuk penyempuranaan model sehingga siap
divalidasi melalui eksperimentasi. Temuan hasil ujicoba lebih luas melalui 4 putaran
pembelajaran dirangkum sebagai berikut.
- Secara prinsip, desain model tidak mengalami perubahan.
- Lembar evaluasi desain (SAP) sudah tidak digunakan, lembar observasi sebagai
panduan mendeskripsikan implementasi.
- Penting menggali dan memanfaatkan pengalaman mahasiswa
- Pada kelas kecil (11-16 mhs) pembelajaran lebih efektif,
- Dapat diterapkan pada pembelajaran reguler ataupun paket
- Instrumen kemampuan berfikir dan sikap reflektif disempurnakan, dan pengukuran
hasil belajar dan kemampuan reflektif menunjukkan peningkatan yang berarti.
- Model pembelajaran siap validasi (terlampir pada rangkuman pengembangan
model pembelajaran_
16

3. Validasi Model Pembelajaran
Validasi model pembelajaran dilakukan melalui eksperimen di S1-PGSD UPI
kampus Purwakarta, Serang, Tasikmalaya, dan Universitas Negeri Jakarta. Pada
kelompok eksperimen, implementasi model pembelajaran siap validasi melalui tiga
putaran pembelajaran. Putaran 1 penekanan pada tahap reflektif teknikal; Putaran 2,
tahap reflektif kontekstual; Putaran 3 tahap reflektif kritikal. Hasil validasi
membuktikan ada peningkatan gain hasil belajar, dan perbedaan yang signifikan
(lebih besar pada kelompok eksperimen dibandingkan kelompok control
(melaksanakan pembelajaran seperti biasa).
Nilai rata-rata hasil belajar dan pengukuran kemampuan reflektif mahasiswa
S1-PGSD kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada mata kuliah Penelitian
Tindakan Kelas, disajikan dalam bentuk tabel berikut ini.
Tabel 2. Nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa S1-PGSD kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
Kel. Eksperimen Kel. Kontrol
S1-PGSD

Ptr. Pre Pos Gain Pre Pos Gain
Purwakarta 1
2
3
Jml
Rata2
65,48
61,67
52,14
179,29
59,76
69,76
68.10
68,10
205,96
68,65
4,28
6,43
15,96
26,67
8,89
62,80
55,80
58,40
170,00
59,00
60,60
60,60
62,40
183,60
61,20
-2,20
4,80
4,00
6,60
2,20
Serang 1
2
3
Jml.
Rata2
64,81
59,44
52,22
176,47
58,82
70,93
68,33
69,63
208,89
69,63
6,12
8,89
17,41
32,42
10,81
67,27
62,05
58,64
187,96
62,65
70,45
67,05
62,50
200,00
66,67
3,18
5,00
3,86
12,04
4,02
Tasikmalaya 1
2
3
Jml.
Rata2
71,67
63,33
60,83
195,83
65,28
75,00
70,05
71,83
216,88
72,29
3,33
6,72
11,00
21,00
7,02
65,77
60,38
56,35
182,50
60,83
69,81
62,69
62,12
194,62
64,87
4,04
2,31
5,77
12,12
4,04
U.N..Jakarta 1
2
3
Jml.
Rata2
57,50
62,81
59,06
179,37
59,79
65,94
69,69
69,06
204,69
68,23
8,44
6,88
10,00
25,32
8,44
64,00
61,50
63,00
188,50
62,83
67,00
67,50
69,50
204,00
68,00
3,00
6,00
6,50
15,50
5,17

Jumlah seluruhnya
Jumlah rata-rata
Rata-rata
730,96
243,65
60,88
836,42
278,80
69,70
105,46
35,16
8,79
735,96
245,31
61,33
782,22
260,74
65,19

46,26
15,43
3,86

17

Tabel 3. Hasil pengukuran kemampuan reflektif (berpikir dan sikap reflektif)
mahasiswa program S1-PGSD kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

Kel, Eksperimen Kel. Kontrol
S1-PGSD
Wilcoxon Signed
Ranks Test Berpikir Sikap Berpikir Sikap
Ranks:
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total

0
18
3
21

3
15
3
21

6
12
7
25

14
10
1
25
Purwakarta
Z
Asymp.Sig.
-3.751
0.000
-3.378
0.001
-0.995
0.320
-0.286
0.775
Ranks:
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total

0
25
2
27

3
23
1
27

5
12
5
22

10
10
2
22
Serang

Z
Asymp.Sig.
-4.387
0.000
-3.969
0.000
-2.416
0.016
-0.168
0.866
Ranks:
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total

0
26
4
30

6
20
4
30

0
23
3
26

8
17
1
26
Tasikmalaya

Z
Asymp.Sig.
-4.502
0.000
-3.653
0.000
-4.285
0.000
-2.440
0.015
Ranks:
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total

0
16
0
16

3
10
3
16

0
9
1
10

2
7
1
10
Unv.Neg.Jakarta
Z
Asymp.Sig.
-3.551
0.000
-1.262
0.207

-2.724
0.006
-1.602
0.109

Ranks:
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total

0
85
9
94

15
68
11
94

11
56
16
83

34
44
5
83

Keseluruhan


Z
Asymp.Sig.

-8.053
0.000
-6.437
0.000
-5.029
0.000
-2.109
0.035

18


19

























MATERI
- Konsep dasar & penyu
sunan proposal PTK
- Pengalaman mgj mhs
EVALUASI
- Proses pembelajaran
- Hasil belajar &kemam
puan reflektif
PROSEDUR
1. Tahap Persiapan
- Menciptakan hubungan baik agar mahasiswa berani dan mau meng ungkap-
kan pendapat dan pengalaman mengajar di SD
- Menjelaskan tujuan, materi, kegiatan, appesepsi, bahas tugas sebelumnya.
TUJUAN
Meningkatkan kemampuan
reflektif nahasiswa



2. Tahap Reflektif Teknikal
- Menggunakan berbagai teknik (metode/media/contoh) agar mahasiswa
memahami konsep dasar PTK dan penyusunan proposal PTK.







3. Tahap Reflektif Kontekstual
- Mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman mhs
- Sharing dan diskusi pengalaman/permasalahan mengajar di SD
- Refleksi diri dan mengemukakan masalah yang akan diteliti









4. Tahap Reflektif Kritikal
- Diskusi pertanyaan/permasalahan, alternatif penyebab dan solusi
- Menganalisis kelaikan tindakan, menetapkan kriteria dan indikator






5. Tahap Pemantapan
- Merangkum materi yang dipelajari, refleksi diri mengambil manfaat/hikmah
- Mengerjakan tugas/soal evaluasi dengan tanggung jawab dan kesungguhan
- Motivasi melakukan refleksi pembelajaran (reflective in/on/for teaching)




Gambar 3. Desain Akhir Model Pembelajaran
20


MODEL AKHIR PEMBELAJARAN
Mata Kuliah Penelitian Tindakan Kelas

Desain Pembelajaran
1. Tujuan: meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa S1-PGSD
2. Materi: sesuai dengan pokok-pokok materi pada silabus (konsep
dasar/teori PTK dan penyusunan proposal PTK), pengalaman
mahasiswa mengajar di SD. Sumber: buku PTK, pedoman proposal
PTK/skripsi, pustaka relevan dengan masalah, dan pengalaman
mahasiswa mengajar di SD.
3. Prosedur pembelajaran: tahap persiapan, reflektif teknikal, reflek-tif
kontekstual, reflektif kritikal, dan pemantapan.
4. Evaluasi: evaluasi proses pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar, serta
pengukuran kemampuan berpikir dan sikap reflektif.

Implementasi Pembelajaran
1. Tahap persiapan: menciptakan hubungan baik agar mahasiswa berani
mengemukakan pendapat/pengalaman, menjelaskan tujuan dan pokok
materi, apersepsi, berkaitan dengan pengalamanan mahasiswa, bahas
tugas sebelumnya.
2. Tahap reflektif teknikal: menggunakan bebagai teknik
(metode/media/contoh) agar mahasiswa memahami konsep materi yang
dipelajari.
3. Tahap reflektif kontekstual: mengaitkan materi yang dipelajari dengan
pengalaman mahasiswa, sharing dan diskusi pengalaman/ permasalahan
mengajar di SD, dan melalui refleksi diri setiap ma-hasiswa
mengemukakan masalah yang akan diteliti dengan PTK
4. Tahap reflektif kritikal: mendiskusikan pertanyaan/permasalahan,
alternatif penyebab dan solusi, serta menganalisis kelaikan tindakan,
dan menetapkan kriteria dan indikator.
5. Tahap pemantapan: merangkum materi yang dipelajari, melakukan
refleksi diri mengambil manfaat/hikmah, bertanggungjawab dan
sungguh-sungguh mengerjakan tugas atau pertanyaan/soal evaluasi,
termotivasi untuk senantiasa belajar dan melakukan refleksi mengajar
di SD (refletive in/on/for teaching).

Evaluasi dan Tindak Lanjut Pembelajaran
1. Evaluasi: proses pembelajaran dan hasil belajar, serta pengukuran
kemampuan berpikir dan sikap reflektif.
2. Tindak lanjut pembelajaran: untuk perbaikan pembelajaran
selanjutnya..



































Gambar 4. Model Akhir Pembelajaran
21

22

Pembahasan pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan reflektif mahasiswa program S1-PGSD pada mata kuliah Penelitian
Tindakan Kelas merupakan pembahasan hasil temuan penelitian dibandingkan dengan
kajian teori yang relevan. Pembahasan berkenaan dengan: (1) hakekat model
pembelajaran; (2) model pembelajaran (desain-implementasi-evaluasi); serta (3)
faktor pendukung dan penghambat pengembangan model pembelajaran.

1. Hakekat Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang dikembangkan merupakan suatu strategi atau desain
yang didasarkan pada teori dan penelitian, terdiri dari beberapa komponen yang
berinterfungsi sehingga dapat digunakan sebagai pedoman berkenaan dengan proses
kegiatan untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu meningkatkan kemampuan
reflektif mahasiswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Oliva (1992:413), Reigelluth
(1983:20), dan Sukmadinata (2004:243). Model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan reflektif, dilandasi filosofis konstruktivisme dan psikologi kognitif.
Termasuk kelompok model pemrosesan informasi (Joyce & Weil, 1986); pendekatan
kompetensi, kontekstual dan berbasis pengalaman, mencari dan bermakna
(Sukmadinata, 2004); model pendidikan guru berbasis pengalaman/lapangan
(Hamalik, 2002).
Meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa yang menjadi tujuan
pengembangan model ini, berdasarkan SKGK SD/MI lulusan S1-PGSD (Depdik-nas,
2005) termasuk kompetensi pedagogik (kemampuan menilai proses dan hasil
pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan menilai kenerja sendiri dengan
mengkaji strategi berfikir reflektif dalam memecahkan masalah yang dihadapi), dan
kompetensi profesional (mampu menilai dan memperbaiki pembelajaran melalui
penelitian tindakan kelas).
Pengembangan model pembelajaran dilakukan melalui tahap studi
pendahuluan, perencanaan dan pengembangan, serta validasi model pembelajaran
didasarkan pada pembelajaran sebagai sistem yang terdiri dari input-proses-output,
berkenaan dengan desain, implementasi dan evaluasi serta tindak lanjut pembelajaran.
Desain terdiri atas: tujuan, materi atau pokok bahasan serta sumber belajar, prosedur
pembelajaran (tahap persiapan, tahap reflektif teknikal-kontekstual-kritikal, dan tahap
pemantapan), dan evaluasi pembelajaran serta tindak lanjutnya.
23


2. Model Pembelajaran
a. Desain Pembelajaran
Konsep pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan
reflektif ini didasarkan pada konsep teoretis mengenai komponen pendidikan sebagai
sistem (input–proses–output) yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2003:9); sistem
pembelajaran (Abdulhak, 2000:23), dan variabel pengajaran di kelas (Dunklin &
Biddle,1974:38). Dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada, yaitu dengan
memperhatikan karakteristik mahasiswa (lulusan D-2, dewasa, guru SD, punya
pengalaman mengajar), tuntutan masyarakat dan perkembangan ipteks abad 21 (guru
harus profesional dan kompeten), serta masukan instrumental (strategi kebijakan
pendidikan guru SD dan pembelajaran, program dan kurikulum pendidikan guru,
sarana dan fasilitas pembelajaran, penilaian pembelajaran, serta personil khususnya
kemampuan dosen).
Peningkatan kemampuan reflektif mahasiswa yang menjadi tujuan
pengembangan model ini sesuai dengan SKGK SD/MI lulusan S1-PGSD (Depdiknas,
2005) termasuk kompetensi pedagogik (kemampuan menilai proses dan hasil
pembelajaran), kompetensi kepribadian (kemampuan menilai kenerja sendiri dengan
mengkaji strategi berpikir reflektif dalam memecahkan masalah yang dihadapi), dan
kompetensi profesional (mampu menilai dan memperbaiki pembelajaran melalui
penelitian tindakan kelas). Instrumen pengukuran kemampuan berpikir dan sikap
reflektif dikembangkan dari konsep reflective thinking (Dewey, 1993). Prosedur
pembelajaran dikembangkan berdasar-kan tiga tingkat reflektif dalam critical
reflection (Zeichner dan Liston, 1996).
Desain model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif, terdiri
dari: tujuan, materi dan sumber, prosedur, dan evaluasi pembelajaran (Tyler, 1949).
Apabila dibandingkan dengan model pembelajaran reflektif (Poblete, 1999), maka
model pembelajaran yang dikembangkan merupakan proses inkuiri dalam mengatasi
masalah pembel-ajaran mahasiswa sebagai guru SD; tidak hanya mengembangkan
kemampuan berpikir reflektif, tetapi juga mengembangkan sikap reflektif mahasiswa
(openmindedness, responsibility, wholeheartedness); prosedur pembelajaran terdiri
dari tahap persiapan, reflektif teknikal, reflektif kontekstual, reflektif kritikal, dan
pemantapan.
24

b. Implementasi Pembelajaran
Implementasi pembelajaran merupakan penerapan desain dalam pelaksanaan
proses pembelajaran, difokuskan pada prosedur pembelajaran yang terdiri dari tahap
reflektif teknikal, kontekstual, dan kritikal sesuai dengan tingkatan reflektif yang
dikemukakan Zeichner dan Liston (1996). Pada tahap reflektif teknikal, refleksi
dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik/cara agar mahasiswa memahami
materi yang dipelajari. Pada tahap reflektif kontekstual, refleksi dilakukan dengan
menemukan keterkaitan antara situasi problematik dengan tindakan yang dilakukan.
Pada tahap relfektif kritikal, refleksi dilakukan berdasarkan pertimbangan kritis dan
etis berkenaan dengan materi/permasalahan yang dipelajari..
Ketika diimplementasikan, ditemukan beberapa hal yang mengakibatkan
desain pembelajaran yang telah direncanakan semula mengalami revisi dan
penyempurnaan, diantaranya:
- Pentingnya menciptakan interaksi personal yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Raths (1986) mengenai pembelajaran berpikir (teaching for thinking) bahwa salah
satu tugas guru adalah menciptakan iklim kondusif untuk berpikir, sehingga
mahasiswa menjadi aktif dan berani bertanya/berdiskusi berkenaan dengan materi
yang dipelajarinya.
- Pentingnya upaya menggali dan memanfaatkan pengalaman mengajar mahasiswa
karena membuat pembelajaran menjadi relevan dan bermakna sehingga dapat
mengajar lebih baik/bermutu. Pengalaman sebagai dasar pembelajaran hanya
bermakna kalau dilakukan refleksi sehingga orang dapat belajar dari pengalamannya
(Stones, 1994); belajar melalui pengalaman banyak terjadi dalam pembelajaran orang
dewasa (Kolb, 1984); sesuai dengan pendekatan model pembelajaran yang banyak
digunakan yaitu discovery and meaningful learning, contextual teaching and
learning), experiential learning (Sukmadinata, 2004).
- Kemampuan reflektif tidak hanya dapat dikembangkan pada ketiga tahap reflektif
saja, tetapi juga pada tahap persiapan (interaksi kondusif, apersepsi) dan tahap
pemantapan (refleksi diri, motivasi untuk mengerjakan tugas/soal evaluasi). Hal ini
dikarenakan pada hakekatnya belajar merupakan refleksi pengalaman yang
berkembang lebih baik (Dewey, 1933); dan semua kegiatan mengajar/pembelajaran
adalah praktek reflektif (Ginsburg & Cliff, 1990).
25

- Materi pembelajaran selain berpedoman pada silabus mata kuliah Penelitian Tindakan
Kelas, juga digali dari pengalaman mahasiswa mengajar di SD.
- Metode pembelajaran, tidak harus bentuk atau metode pembel-ajaran reflektif (Hall,
1996), tetapi metode mengajar biasa dapat digunakan asal mahasiswa diberi
kesempatan untuk melakukan self and shared analysis/ reflection
- Pembelajaran lebih efektif pada kelas yang jumlah mahasiswanya sedikit (<20 orang)
daripada kelas besar, karena setiap mahasiswa mempunyai kesempatan lebih banyak
dalam berpartisipasi aktif dalam belajar. Hal ini sesuai dengan prinsip individualitas
dan aktivitas serta Student Centered Learning di PT (Depdiknas, Dirjen Dikti, 2005).

c. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi proses pembelajaran dilakukan melalui observasi, kemudian
didiskusikan secara kolaboratif, hasilnya dideskripsi-kan secara kualitatif dan
digunakan sebagai masukan dan tindak lanjut bagi pembelajaran berikutnya. Hal ini
sesuai dengan langkah ke 4-7 penelitian pengembangan (Borg and Gall, 1993) yaitu
preliminary field testing, main product revision, main field testing, dan operational
product revision yang bertujuan mengoptimalkan model pembelajaran yang
dikembangkan.
Evaluasi hasil belajar berkenaan dengan pencapaian tujuan pembelajaran yang
ditetapkan pada setiap putaran pembel-ajaran, diberikan dalam bentuk menjawab
pertanyaan atau tugas yang relevan. Hasilnya ternyata nilai rata-rata ujicoba (putaran
1-4 dan 5-8), maupun validasi (putaran 1-3) berfluktuasi, karena tingkat kesukaran
materi setiap pokok bahasan yang dipelajari tidak sama, namun bila dicermati
ternyata gain antara pre dan pos tes tiap putaran cenderung meningkat, berarti
pembelajaran yang dikembangkan cukup efektif untuk meningkatkan hasil belajar
mahasiswa.
Pengukuran kemampuan berpikir maupun sikap reflektif menggunakan tes esei
dan skala sikap reflektif dari konsep reflective thinking (Dewey, 1933),
dikembangkan melalui uji coba instrumen (dua kali), dan diantaranya dilakukan
validasi ahli untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas instrumen. Kegiatan ini
sesuai dengan prosedur penyusunan instrumen penelitian (Arikunto,1993). Kemudian
dianalisis dengan statistik non-parametrik (Wilcoxon Signed Ranks Test dan Mann-
Whitney Test), hasilnya menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan. Hal ini
26

berarti terdapat perbedaan yang bermakna setelah menggunakan model
pembelajaran..

3. Faktor Pendukung – Penghambat
a. Karakteristik mata kuliah PTK (Depdikbud, 1996) yang tujuan dan materinya
sejalan dengan kemampuan reflektif yang akan ditingkatkan melalui pengembangan
model pembelajaran, tetapi menjadi faktor penghambat kalau tidak cermat karena
ada unsur penelitian (materi mata kuliah PTK) di dalam penelitian. (penelitian dan
pengembangan).
b. Lokasi dan subjek penelitian yang tersebar di beberapa tempat/kota. Walaupun
peneliti mendapatkan wawasan yang lebih luas, tetapi cukup merepotkan dan
melelahkan karena tidak dapat melakukan observasi pembelajaran secara optimal.
c. Dosen pengampu mata kuliah PTK hampir semuanya ketua program S1-PGSD,
sehingga perubahan perencanaan dan implementasi model pembelajaran dapat lebih
mudah, tetapi menjadi faktor penghambat karena tidak mempunyai cukup wakt
membuat desain (SAP) secara rinci dan tertulis, memberi-kan laporan observasi
implementasi pembelajaran, dan melakukan koreksi hasil belajar dan tes esei
berpikir reflektif.
Dosen telah berpengalaman melakukan dan membimbing mahasiswa menyusun
skripsi dengan PTK. Hal ini sangat membantu peneliti maupun mahasiswa dalam
mengimplemen-tasikan model pembelajaran yang dilakukan secara siklikal dan
kolaboratif, akan tetapi ada beberapa dosen yang memiliki persepsi dan cara serta
gaya mengajar yang kadang agak sedikit sulit menerapkan secara konsisten tahapan
model pembelajaran yang direncanakan.
Dosen mata kuliah PTK mengajar dalam bentuk team teaching, sehingga proses
diskusi secara kolaborasi mendapat lebih banyak masukkan dan pandangan, tetapi
tim dosen kadang sulit untuk bertemu/berdiskusi secara lengkap, sehingga masukkan
dilakukan secara individual kemudian dirangkum oleh peneliti dalam penyusunan
desain/SAP putaran selanjut-nya, dan didiskusikan secara singkat sebelum
implementasi putaran pembelajaran selanjutnya.
d. Mahasiswa program S1-PGSD berasal dari lulusan program D2-PGSD, bekerja
sebagai guru SD, dan sebagian sudah berkeluarga. Kondisi mahasiswa ini dapat
menjadi faktor pendukung karena mahasiswa memiliki pengalaman mengajar
27

sebagai guru SD sehingga dalam implementasi pembelajaran mahasiswa lebih aktif
terlibat, didasarkan kontekstual peng-alaman mengajar yang nyata, dan mendapat
manfaat mempelajari PTK, tetapi menjadi penghambat karena keku-rangan waktu
untuk belajar dan mengerjakan tugas.
Jumlah mahasiswa yang melanjutkan dari program D2 ke S1-PGSD tidak terlalu
banyak dan tidak mendapat bantuan biaya studi, sehingga raw material mahasiswa
S1-PGSD lebih mampu secara akademis dan termotivasi untuk meningkatkan
dirinya. Namun menjadi penghambat karena mereka lebih dibekali dengan
keterampilan praktis mengajar bukan pada pembekalan konsep teori seperti
mahasiswa jalur akademik S1 sehingga mengalami keterbatasan ketika melakukan
kajian teoretis atas masalah yang diteliti.
e. Sarana prasarana, walaupun di beberapa program S1-PGSD sudah memiliki
perpustakaan, laboratorium MIPA, komputer namun dalam kenyataannya koleksi
buku perpustakaan sudah banyak yang kadulawarsa dan tidak mencukupi, mahasiswa
juhs kekurangan waktu dan biaya memanfaatkan fasilitas belajar tersebut.
f. Evaluasi pembelajaran meliputi evaluasi proses pembelajaran, hasil belajar, dan
pengukuran kemampuan reflektif.
Evaluasi proses pembelajaran tidak dapat dilakukan peneliti secara optimal karena
lokasi penelitian yang cukup berjauhan dan waktu pelaksanaannya pun hampir
bersamaan. Namun dengan bantuan dan kerjasama dari ketua program studi maupun
tim dosen PTK, observasi proses pembelajaran dapat terlaksana dan dijadikan
masukan pembelajaran selanjutnya.
Evaluasi hasil belajar dalam bentuk pertanyaan ataupun tugas yang relevan dengan
tujuan dan pokok bahasan setiap putaran disusun oleh bersama, hasilnya dijadikan
masukkan bagi perbaikan putaran pembelajaran selanjutnya.
Pengukuran kemampuan reflektif mengalami hambatan saat menjawab dan
mengumpulkan hasil tes esei berpikir reflektif (tidak semua mahasiswa mengerjakan
tugas dan mengumpul-kan tepat waktu). Demikian juga ketika koreksi, walau sudah
ada kriteria, tapi dosen mata kuliah sebagai korektor kedua kadang mempunyai
persepsi berbeda, dan tidak cukup waktu untuk melaksanakan inter-rater reliability.
Pengumpulan dan analisis data hasil skala sikap reflektif tidak terlalu banyak kendala
karena dikerjakan di kelas dan langsung dikumpulkan, kemudian diolah/dianalisis
dengan bantuan program SPSS.
28


E. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
a.Rangkuman temuan hasil penelitian, berkenaan dengan permasalahan dan
pertanyaan penelitian yaitu mengenai kondisi pembelajaran program S1-PGSD,
model desain pembelajaran, implementasi model pembelajaran pada mata kuliah PTK,
dan dampak model pembelajaran terhadap peningkatan hasil belajar dan kemampuan
reflektif mahasiswa. (Catatan: telah disajikan pada bagian D. Hasil Penelitian).

b.Karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran
Karakteristik model pembelajaran:
- Model pembelajaran dikembangkan melalui tiga langkah penelitian dan
pengembangan (studi pendahuluan, perencanaan dan pengembangan, validasi) pada
matakuliah Penelitian Tindakan Kelas; didasarkan pada pendekatan pembelajaran
sebagai sistem (input–proses-output) yang terdiri dari beberpa komponen yang
berinterfungsi untuk mencapai tujuan; berkenaan dengan desain–implementasi-
evaluasi dan tindak lanjut secara siklikal melalui 3-4 putaran pembelajaran.
- Model desain pembelajaran terdiri dari: tujuan pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan reflektif mahasiswa yaitu mampu memahami konsep materi (reflektif
teknikal), mengaitkannya dalam konteks pengalaman mengajar mahasiswa (reflektif
kontekstual), dan menganalisis secara kritis materi dan permasalahan yang dipelajari
pada pokok bahasan PTK (reflektif kritikal); materi sesuai dengan pokok materi pada
silabus dan pengalaman mengajar mahasiswa di SD; prosedur pembelajaran terdiri
dari tahap persiapan, reflektif teknikal, reflektif kontekstual, reflektif kritikal, dan
pemantapan; serta evaluasi. proses pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif
dengan mitra peneliti, hasil belajar mahasiswa menguasai materi yang dipelajari setiap
pertemuan, serta pengukuran kemampuan reflektif melalui tes kemampuan berfikir
reflektif dan skala sikap reflektif yang diberikan pada awal dan akhir (pre dan test).
- Implementasi model pembelajaran dilakukan secara siklikal melalui beberapa
putaran pembelajaran, difokuskan pada prosedur pembelajaran yang terdiri dari: (1)
tahap pesiapan: menciptakan hubungan yang baik sehingga mahasiswa berani
mengemukakan pengalaman dan pendapatnya;(2) tahap reflektif teknikal:
menggunakan berbagai teknik/metode untuk mema-hami materi yang dipelajari; (3)
29

tahap reflektif kontekstual: mengaitkan materi dengan pengalaman mengajar
mahasiswa, sharing, diskusi, refleksi diri; (4) tahap reflektif kritikal: mendiskusikan
pertanyaan/permasalahan, alternatif penyebab dan solusi, serta menganalisis
kelaikan tindakan, dan menetap-kan kriteria/indikator; (5) tahap pemantapan:
merangkum materi, melakukan refleksi diri mengambil manfaat/hikmah,
mengerjakan tugas dan evaluasi hasil belajar, motivasi untuk melakukan refleksi
pembelajarannya (reflection in/on/for teaching).
- Evaluasi: evaluasi proses pembelajaran, hasil belajar, dan kemampuan reflektif.
Evaluasi proses pembelajaran dideskripsikan berdasarkan hasil observasi, dan
diskusikan secara kolaboratif antara peneliti dengan dosen bersangkutan, hasilnya
sebagai masukan bagi perbaikan pembelajaran selanjutnya. Evaluasi hasil belajar
dilakukan pada setiap putaran pembelajaran untuk mengetahui pencapaian tujuan
pembelajaran setiap pokok bahasan. Pengukuran kemampuan reflektif dilakukan
dengan mengerjakan tes esei berpikir reflektif, dan skala sikap reflektif. Tindak
lanjut pembelajaran dilakukan berdasarkan hasil evaluasi proses pembelajaran dan
evaluasi hasil belajar untuk perbaikan selanjutnya.

Keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran:
- Mampu meningkatkan hasil belajar dan kemampuan reflektif mahasiswa (terbukti dari
hasil pengukuran kemampuan reflektif pada tahap ujicoba terbatas, ujicoba lebih luas
maupun validasi melalui eksperimen), walaupun peningkatan sikap reflektif tidak
terlalu besar dan masih memerlukan waktu agak lama.
- Materi didasarkan pada pokok bahasan silabus PTK dan dikaitkan dengan pengalaman
mahasiswa mengajar di SD, sehingga lebih bermakna/bermanfaat membantu
mahasiswa mengatasi dan meningkatkan mutu pembelajaran di SD. Keterbatasannya
tidak semua mahasiswa terbiasa merefleksikan pengalamannya agar dapat mengajar
atau mengelola pembelajaran selanjutnya dengan lebih baik.
- Prosedur pembelajaran melalui lima tahap pembelajaran) tidak sulit
diimplementasikan oleh dosen maupun mahasiswa. Berbagai metode mengajar dapat
digunan hanya perlu lebih disadari dan ditekankan pada upaya mempersiapkan
mahasiswa supaya terlibat aktif melalui sharing pengalaman/ permasalahan, menggali
pengalaman mahasiswa, kesempatan untuk melakukan refleksi diri dan dengan teman.
30

- Dapat diterapkan pada pembelajaran regular (perkuliahan tatap muka secara rutin dan
teratur) maupun paket (perkuliahan tatap muka dipadatkan), dan lebih efektif bila
dilaksanakan pada kelas yang jumlah mahasiswanya tidak terlalu banyak. Kalau kelas
dengan jumlah mahasiswa cukup banyak, dapat dibentuk menjadi beberapa kelompok.

Implikasi teori:
- Interaksi personal yang kondusif dapat mengaktifkan dan melancarkan proses
pembelajaran sehingga penting menciptakan hubungan baik dan menggali pengalaman
mahasiswa mengajar di SD, baik di luar maupun di dalam kelas selama proses
pembelajaran berlangsung.
- Pembelajaran berdasarkan pengalaman membuat pembelajaran menjadi lebih
bermakna, sehingga penting menggali pengalaman mahasiswa dalam merancang dan
mengimplementasikan pembelajaran.
- Kemampuan reflektif (berfikir dan sikap reflektif) dapat dilakukan selama proses
pembelajaran bukan hanya pada tahap reflektif teknikal-kontekstual-kritikal, tetapi
juga pada tahap persiapan dan pemantapan, bahkan pada konsultasi dan sharing
pengalaman di luar perkuliahan tatap muka di kelas.
- Relfeksi pembelajaran dilakukan pada saat terjadi pembelajaran (reflective in
teaching), sesudah pembelajaran (reflective on teaching), dan untuk mengajar
berikutnya (reflection for teaching), melalui self and shared analysis.
- Berpikir reflektif lebih cepat dilihat hasilnya/peningkatannya daripada sikap reflektif
sehingga perlu waktu lebih lama dalam mengembangkan sikap reflektif mahasiswa
melalui tugas-tugas yang diberikan sehingga membuka wawasan mahasiswa,
menumbuhkan tanggung jawab, dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas sebagai
guru kelas di SD.
- Interaksi personal, motivasi, pemantapan dapat meningkatkan kemampuan reflektif
karena mengkondisikan seseorang berfikir dan bersikap reflektif.
- Kemampuan reflektif bermanfaat dan membantu mahasiswa dalam memperbaiki dan
meningkatkan pembelajaran di SD, karena mahasiswa merefleksikan pengalamannya
dan mengambil hikmah dari pengalaman mengajar untuk dapat mengajar lebih baik.
- Tumbuh sikap reflektif yang memotivasi mahasiswa untuk selalu belajar dan
mengembangkan diri semakin profesional. Sebagai guru kelas SD abad 21 dituntut
senantiasa belajar dari buku maupun pengalamannya sehingga dapat mengajar lebih
31

profesional dan kompeten serta dapat memperbaiki atau meningkatkan mutu
pembelajaran menjadi lebih baik.
Dengan demikian pembelajaran melalui prosedur tahap persiapan, reflektif
teknikal – kontekstual – kritikal, dan pemantapan dapat meningkatkan hasil belajar
dan kemampuan reflektif mahasiswa. Kemampuan berfikir dan sikap reflektif ini
menjadi kemampuan yang wajib dimiliki oleh guru SD sebagai agen pembelajaran
yang profesional dan kompeten dalam mengembangkan pembelajaran yang inovatif,
menyenangkan dan bermutu. Pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi mulai
pada skala kelas, sekolah, daeraj, bahkan nasional dalam memperbaiki dan
meningkatkan mutu pendidikan SD.

2. Rekomendasi
a. Program S1-PGSD agar berupaya meningkatkan kemampuan reflektif melalui
penerapan model pembelajaran dengan lima tahapan pada mata kuliah PTK, dan
memodifikasi untuk mata kuliah lainnya, sehingga dapat lebih mempersiapkan
mahasiswa menjadi guru SD yang bermutu.
b. Dosen PTK agar dapat mengimplementasikan kelima tahap model pembelajaran
untuk meningkatkan kemampuan reflektif serta memotivasi diri maupun mahasiswa
untuk melakukan refleksi diri dan pembelajaran (reflection in/on/for teaching).
c. Mahasiswa S1-PGSD agar dapat memanfaatkan kemampuan reflektif untuk menulis
skripsi, dan termotivasi melakukan refleksi secara terus menerus dalam
pengembangan karir sebagai guru profesional dan dapat meningkatkan mutu SD.
d. Peneliti lain yang tertarik, agar mau melakukan penelitian pada mata kuliah yang
sama di lokasi dan subjek berbeda, pada mata kuliah lain di lokasi dan subjek yang
sama atau berbeda, atau pada jenjang pendidikan berbeda.

Sebagai akhir dari penulisan makalah ini, maka ditegaskan kembali bahwa
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif diperlukan dan perlu
dikembangkan oleh program studi S1-PGSD dalam mempersiapkan guru SD yang
kompeten dan professional, khususnya dalam upaya merealisasikan pencapaian
kemampuan atau kompetensi sesuai SKGK-SD/MI. Unsur reflektif terdapat di keempat
rumpun kompetensi, secara eksplisit pada rumupun kompetensi pedagogik, kepribadian,
32

profesional, dan secara implisist sebagai dampak pengiring pada rumpun kompetensi
sosial.
Kemampuan reflektif dibutuhkan oleh mahasiswa sebagai guru SD dalam
mengatasi masalah pembelajaran di kelasnya, atau melakukan perbaikan dan peningkatan
mutu pembelajaran di kelas SD. Tumbuhnya sikap reflektif yang ditunjang dengan
kemampuan berpikir reflektif, memotivasi mahasiswa sebagai guru SD untuk selalu belajar
dan memperbaiki dan meningkatkan diri yang diperlukan bagi pengembangan profesional
guru. Kemampuan berpikir dan sikap reflektif dinyatakan dengan selalu berupaya
mengembangkan diri dan meningkatkan pembelajaran yang dilakukannya (reflection in /
on / for teaching), melalui belajar sepanjang hayat, belajar mengambil hikmah dari
pengalaman melalui self and shared analysis/reflection, dll. Dengan adanya model
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan reflektif mahasiswa program S1-PGSD,
khususnya pada mata kuliah Penelitian Tindakan Kelas, diharapkan mampu membekali
mahasiswa S1-PGSD sebagai guru SD dalam mengantisipasi dan mengatasi permasalahan
pembelajaran di kelas akibat perkembangan yang pesat, sehingga dapat menjadi guru
profesional dan kompeten sesuai dengan tuntutan profil guru abad 21.


REFLECTIVE IN / ON / FOR TEACHING IS NEEDED
IN TEACHER PROFESSIONAL DEVELOPMENT
33

DAFTAR PUSTAKA


Abdulhak, I. (2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: Andira.

Arikunto, S. (1993). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Borg, W.R. & Gall, M.D. (1983). Education Research : An Introduction. New York &
London: Longman.

Calderhead, J. & Gater, P. (1995). Conceptualizing Reflection in Teacher Development. The
Palmer Press.

Depdikbud. (1996/1997). Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Dirjen
Dikti BP3GSD.

Depdiknas. (2002). Pengembangan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan Abad ke-21
(SPTK-21). Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI
No.20. Tahun 2003). Jakarta: Sinar Grafika

Depdiknas. (2005). Standar Kompetensi Guru Kelas SD-MI, Lulusan S1 PGSD Jakarta:
Dirjen Dikti DP2TK.

Dewey, J. (1933). How We Think, A Restatement of the Relation of Reflective Thinking to the
Education Process. Chicago: Henry Regne.

Dunkin, M.J. & Biddle, B.J. (1936), The Study of Teaching, New York & Sydney: Holet,
Rinehart and Winston, Inc.

Ginsburg, M.B. & Clift. (1990). The Hidden Curriculum of Preservice Teacher Education.
Hand book of Research on Teacher Education. London: Collier Macmillan Pub.

Harrington, H.L. et.al. (1996). Written Case Analyes and Critical Reflection. Teaching and
Teacher Education: An International Journal of Research and Studies. Vol.12 no.1.
January, 1996.

Joice, B. & Weil, M. (1986). Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood
Cliffs.

LaBoskey, V.K. Why Reflection in Teacher Education?. Teaching and Teacher Education:An
International Journal of Research & Studies.Vol.12 no.1. 1996.

Oliva, P.F. (1992). Developing the Curriculum. New York: Harper Collins.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

34

Pintrich, P.R. (1990). Implications of Psychological Research on Student Learning and
College Teaching for Teacher Education. Handbook of Research on Teacher
Education. London: Collier Macmillan Pub.

Poblete, D.P. (1999). A Reflective Teaching Model: An Adventist Assesment, Michigan:
Andrews University. Tersedia: http://www.aiias.edu/ict/ vol24/ 24cc_ 257-276.htm
[02/06/04].

Pollard, A. & Tann, S. (1987). Reflective Teaching in the Primary School: A Handbook for
the Classroom, London: Cassell Education Ltd.

Reilgelluth, C.M. (1983), Instructional Design Theoris and Models. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates.

Smith, R.M. (1982). Learning How to Learn: Applied Theory for Adults. Chicago: Follett
Pub.Co.

Sugiyono,.(2003). Statistik Nonparametris untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, N.S. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma
Karya.

Suparno,P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Tyler, R.W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University
of Chicago Press.

Undang-undang RI No. 14. Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Unesco. (1996). Learning: The Treaure Within. Paris: Unesco.

Valli & Linda. (1994). Reflective Teacher Education: Cases and Critiques. Bulletin Reflective
Practice in Social Studies, No.88.

Zeichner, K. & Liston, .P. (1995). A Handbook for Reflective Teaching: Designed for the
New and Student Teacher. Tersedia: http://www.iloveteaching.com/ mentor/html. [30-
07-2003].

Zeichner, K. & Liston, P. (1996), Reflective Teaching: An Intro-duction. New Jersey:
Lawrence Erlbaum

Daftar Pustaka (Bahasa Inggris)

Abedi, J. (2004). The no child left behind act and English language learners:
Assessment and accountability issues. Journal of American Educational
Research Association, 33, 4-13.

Arikunto, S. (1999). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. (Edisi revisi). Jakarta: Bumi
Aksara.

Artini, L.P. (1998). Is speaking easier than writing?: Exploring the complexity of
spoken language. Jurnal Ilmu Pendidikan, 5, 38-48.

Astin, A.W. (1993). Assesment for excellence: The philosophy and practice of
assessment and evaluation in higher education. New York: The Oryx Press.

Azwar, S. (2004). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bachman, L.F. (1990). Fundamental considerations in language testing. Hong Kong:
Oxford University Press.

Baumgartner, T.A., & Jackson, S. (1995). Measurement for evaluation. NewYork:
Wm C. Brown Comunications. Inc.

Bogdan, C.R. (1982). Qualitative research for education: An introduction to theory
and methods. Boston: Ally and Bacon Inc.

Bolt, D.M., Cohen, A.S., & Wollack, J.A. (2001). A mixure item response model for
multiple-choice data. Journal of Educational and Behavioral Statistics, 381-
409.

Borg, W.R., & Gall, M.D. (1983). Educational research: An introduction. (4th
ed).
New York & London: Longman.

Brinkerhoff, R.O., Brethower, D.M., Hluchyj, T., et al. (1983). Program evaluation:
A practitioner’s guide for trainers and educators. Boston: Kluwer-Nijhoff
Publishing.

Brown, H.D. (1987). Principles of language learning and teaching. (2nd
ed). London:
Printice-Hall Inc.

Brown, D.J. (1990). Decentralization and school-based management. London: Taylor
& Francis (Prenters) Ltd. 304

Brown, H.D. (2000). Principle of language learning and teaching. (4th
ed). San
Fransisco: Addison Wesley Longman, Inc.

Brown, H.D. (2001). Teaching by principles: An active approach to language
pedagogy. (2nd
ed). San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc.

Brown, H.D. (2004). Language assessment: Principle and classroom practices.
NewYork: Longman, Pearson Education, Inc.

Buck, G. (2001). Assessing listening. Cambridge: Cambridge University Press.

Cahyono, B.Y. (1996). Development and application of content-based summarizing
teachnique in reading instruction. Jurnal Ilmu Pendidikan, 3, 27-36.

Caldwell, B.J., & Spinks, J.M. (1992). Leading the self managing school. London:
The Falmer Press.

Celce-Murcia, M. (2001). Teaching English as a second or foreign language. (3rd
ed).
New York: Heinle and Heinle.

Clapham, C. (1996). The development of IELTS: A study of the effect of background
knowledge on reading comprehension. Cambridge: Cambridge University
Press.

Clark, D. (1997). Implementing the Kirkpatrick evaluation model plus: Five levels of
evaluation enable continuous improvement. Diambil dari Instructional System
Development, “Evaluation Phase,” Chapter VI. (Rev.ed.).
http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/sat.html.

Crystal, D. (2000). English as a global language. Cambridge: Cambridge University
Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). Kamus besar bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004, Standar kompetensi,
mata pelajaran: Bahasa Inggris sekolah menengah atas. Jakarta: Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. (2004 b). Pengembangan perangkat penilaian
kinerja guru. Jakarta: Ditjen Dikti, Bagian Proyek P2TK.
305
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Petunjuk teknis monitoring dan evaluasi.
Jakarta: Depdiknas.

Djemari Mardapi. (1999). Pengukuran, penilaian dan evaluasi. Makalah disampaikan
pada Penataran evaluasi pembelajaran matematika untuk guru inti matematika
tanggal 8 – 23 Nopember 1999 di PPPG Matematika Yogyakarta.

Djemari Mardapi. (2000). Evaluasi pendidikan. Makalah disampaikan pada Konvensi
Pendidikan Nasional tanggal 19–23 September 2000 di Universitas Negeri
Jakarta.

Ellis, R. (2005). Principles of instructed language learning. Diambil pada tanggal 9
Agustus 2006, dari file://F:\Principles of Instructed Language Learning Rod
Ellis.htm.

El-Okda, M. (2005). A propose model for EFL teacher involvement in on-going
curriculum development. Diambil dari sumber ASEAN EFL JOURNAL
File:/F\A Propose Model for EFL Teacher Involvement.htm.

Fernandes, H.J.X.(1984). Testing and measurement. Jakarta: National Education
Planning, Evaluation and Curriculum Development.

Fetterman, D.M. (1988). Qualitative approaches to evaluation in education: The
silent scientific revolution. New York: Praeger Publishers.

Flannery, K.T. (2000). Contextualizing course evaluations: Using students’ self-
evaluation. Diambil pada tanggal 15 September 2006 dari Sumber:
File:/E:\Kumpulan Jurnal\Contextualizing Course Evaluation.htm. C 2000 by
the Association of Departments of English. All Rights Reserved ADE Bulletin
126 (Fall 2000): 53-57.

Ghani, A.R.A., Hari, S., & Suyanto. (Ed). (2006). Evaluasi pendidikan: Konsep dan
aplikasi. Jakarta: UHAMKA Press.

Grambs, J.D. & Carr, J.C. (1979). Modern methods in secondary education. New
York: Holt, Rinehart and Winston.

Gronlund, N.E. (1971). Measurement and evaluation in teaching. (3rd
ed). New York:
Macmillan publishing.

Gronlund, N.E. (1981). Measurement and evaluation in teaching. (4th
ed). New York:
Macmillan Publishing.
306
Gronlund, N.E. & Linn, R.L. (1990). Measurement and evaluation in teaching.
NewYork: Macmillan Publishing.

Hadi, S. (2000). Metodologi research (jilid 1). Yogyakarta: Andi.

Hamalik, O. (1991). Pendidikan guru: Konsep dan strategi. Bandung: Penerbit
Mandar Maju.

Holman, R. & Berger, M.P.F. (2001). Optimal calibration designs for tests of
polytomously scored items described by item response theory models. Journal
of Educational and Behavioral Statistics, 361-380.

Hughes, A. (2003). Testing for language teahers. Cambridge: Cambridge University
Press.

Hulin, C.L., Drasgrow, F., & Parsons, C. (1983). Item response theory: Application to
psychological measurement. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.

Imam Ghozali. (2005). Structural equation modeling: Teori, konsep, dan aplikasi
dengan program Lisrel. Semarang: Badan penerbit Universitas Dipenogoro.

Irvine, S.H. & Kyllonen, P.C. (2002). Item generation for test development. Mahwa,
NJ: Lawrence Erlbaum Association, Publishers.

Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (2002). Meaningful assessment: A manageable and
cooperative process. Boston: Allyn and Bacon.

Jones, J., Jenkin, M., & Lord, S. (2006). Developing effective teacher performance.
London: Paul Chapman Publishing.

Joyce, B. & Weil, M. (1996). Models of teaching. Boston: Allyn and Bacon.

Kellaghan, T & Greaney, V. (2001). Using assessment to improve the quality of
education. Paris: Imprimerie Alenconnnaise.

Kirkpartrick, D.L. (1998). Evaluating training programs: The four levels. (2nd
ed).
San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Larson, R.L. (1972). Process or product: The evaluation of teaching or the evaluation
of learning. Diambil pada tanggal 9 september 2006 dari file://F:\ Process or
Product: The Evaluation of Teching or the Evaluation of Learning.htm. 307
Levine, R.A., Solomon, M.A., Hellstern, G.M, et al. (1981). Evaluation research and
practice: Comparative and international perspectives. Beverly Hills: Sage
Publications.
Littelewood, W. (1984). Communicative language teaching. Cambridge: Cambridge
University Press.
Lynch, B.K. (1996). Language program evaluation: Theory and practice.
Cambridge: Cambridge University Press.
Madaus, G., Scriven, M.S., & Stafflebeam, D.L. (1986). Evaluation models:
Viewpoints on educational and human services evaluation. Boston: Kluwer-
Nijhoff Publishing.
Mann, G. (2004). An evaluation approach towards feedback “betterment” in an
initial teacher training in EFL. Diambil pada tanggal 9 Agustus 2006 dari
file://F:\ An Evaluation Approach.htm.

Mazzei, L.A. (2004). Silent Listening: Deconstructive practices in discourse-based
research. Journal of American Educational Research Association,33, 26-33.

McDonald, R.P. (1999). Test theory: A unified treatment. Mahwa, N.J: Lawrence
Erlbaum Association, Publishers.

Mehrens, W.A. & Lehmann, I.J. (1973). Measurement and evaluation: An education
and psychology. New York: Holt, Rinehart and winston, Inc.

Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1994). Qualitative data analysis: An expanded
sourcebook. New York: SAGE Publications.

Ming-Chung Yu. (2006). On the teaching of L2 sosiolinguistic competence in
classroom settings. Diambil pada tanggal 8 September 2006, dari file://F:\Asian
EFL Journal English Language Teaching and Research Articles.htm.

Morse, J.M. (1994). Critical issues in qualitative research methods. London: Sage
Publications.

Mueller, R. O. (1996). Basic principles of structural equation modeling: An
introduction to lisrel and EQS. New York: Springer.
308
Naugle, K.A. (2000) . Kirkpatrick's evaluation model as a means of evaluating
teacher performance. Diambil pada tanggal 15 November 2005, dari
http://www. findarticles.com/p/articles.

Nunan, D. (1992). Research methods in language learning. Cambridge: Cambridge
University Press.

O’Malley, J.M. & Pierce, L.V. (1996). Authentic assessment for English language
learners: Practical approaches for teachers. New York: Addison Wesley
Longman, Inc.

Owen, R.E. (1992). Language development: An introduction. New York: Macmillan
Publishing Company Inc.

Partners, C. (2006). Implementing the Kirkpatrick evaluation model plus. Diambil
pada tanggal 2 Januari 2006, dari http://www.coe.wayne. edu/ eval/pdf.

Patton, M.Q. (1978). Utilization-focused evaluation. Beverly Hills: Sage
Publications.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesi nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006
tentang standar kompetensi lulusan (SKL).

Phillips, J.J. (1991). Handbook of training evaluation and measurement methods.
Houson: Gulf Publishing Company.

Popham, W.J. (1995). Classroom assessments: What teachers need to know. Toronto:
Allyn Bacon.

Prihartono, Nurudin, & Sudaryanto. (2005). Upaya meningkatkan keefektifan
pembelajaran bahasa Inggris melalui kreativitas guru dalam merancang tugas-
tugas komunikatif di SMA 2 Wonosari (penelitian tindakan kelas). Jurnal
Penelitian dan Evaluasi, 1, 114-159.

Purpura, J.E. (1999). Leaner strategy use and performance on language tests: A
structural equation modeling approach. Cambridge: The Press Syndicate of the
University of Cambridge. 309

Rea-Dickins, P. & Germaine, K.P. (1998). Managing evaluation and innovation in
language teaching: Building bridges. London: Longman.

Richards, J.C. & Renandya, W.A. (2002). Methodology in language teaching: An
anthology of current practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Richards, J.C. (2006). Curriculum development in language teaching. New York:
Cambridge University Press.

Rist, R.C. (1994). Influencing the policy process with qualitative research in
handbook of qualitative research. Thousand Oaks: Sage Publications.

Samana, A. (1994). Profesionalisme keguruan. Yogyakarta: Kanisius.

Sanders, J.R. & Sullins, C.D. (2006). Evaluating school programs. (3rd
ed). Thousand
Oaks: Corwin Press.

Saukah, A. (1998). Evaluation of pre-departure English training program. Jurnal Ilmu
Pendidikan, Jilid 5, Nomor Suplemen, 68-83.

Saukah, A. (2000). The English profeciency of the academics of the teacher training
and education institutions. Jurnal Ilmu Pendidikan, 7, 67-76.

Sawyer, R.K. (2004). Creative teaching: Collaborave discussion as disciplined
improvisation. Journal of American Education Research Association, Volume
33, Number 2, 12-19.

Scheaffer, R.L., Mendenhall III, W., & Ott, L. (1996). Elementary survey sampling,
fifth edition. New York: Duxbury Press.

Schmitt, N. & McCarthy, M. (2000). Vocabulary description, acquisition and
pedagogy. Cambridge: Cambridge University Press.

Scholes, R. (2003). Learning and teaching. Diambil dari sumber File://E\Kumpulan
Jurnal\ Learning and Teaching.htm. @ 2003 by the Associstion of Departmens
of English. All Rights Reserved. ADE Bulletin 134-135 (Spring-Fall 2003): 11-
16.

Solimun. (2002). Structural equation modeling (SEM) Lisrel dan Amos. Malang:
Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.
310
Sparks, R.L., Patton, J., Javorsky, et al. (2006). Native language predictors of foreign
language proficiency and foreign language aptitude. Diambila pada tanggal 5
November, 2006 dari Sumber: Annals of Dyslexia; Jun 2006; 56, 1; Proquest
Education Journals pg. 129.

Stern, H. (1983). Fundamental concept of language teaching. London: Oxford
University Press.

Stronge, J.H. (2006). Evaluating teaching. London: Corwin Press.

Stufflebeam, L.D. & Shrinkfield, J. (1985). Systematic evaluation: A self–
instructional guide to theory and practice. New York: Kluwer Nijhoff
Publishing.

Sudiyono, A. (2003). Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Sugiyono. (2004). Metode penelitian bisnis. Bandung: CV Alfabeta.

Suriasumantri, J.S. (1998). Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Suwarsih Madya. (1991). Introducing the communicative approach to EFL student
teachers in Yogyakarta. Yogyakarta: Seminar Paper.
Suwarsih Madya. (2004). Sosok sejati guru bahasa Inggris belum muncul. Harian
Kompas, Senin, 29 Maret 2004. Diambil pada tanggal 23 Desember 2006, dari
Design By KCM Copyright © 2002 Harian KOMPAS.
Tarigan, H.G. (1998). Metodologi pengajaran bahasa. Jakarta: Depdikbud.
Tudiver, F., Bass, M.J., Dunn, E.V., et al. (1992). Assessing interventions:
Traditional and innovative methods. New York: Sage Publication.

Tudiver, F., Bass, M.J., Dunn, E.V., et al. (2006). Teaching and learning English
more effectively. Diambil pada tanggal 29 April 2006, dari file://F:\Teaching &
Learning English More Effectively.htm.

Undang – Undang Nomor 14 Tahun (2005) Tentang Guru dan Dosen.

Walcott, H.F. (1994). Transforming qualitative data: Description, analysis, and
interpretation. New York: Sage Publications. 311

Weiss, C.H. (1972). Evaluation research: Methods for assessing program
effectiveness. Toronto: Englewood Cliff.

Wholey, J.S., Harty, H.P., & Newcomer, K.E. (1994). Handbook of practical
program evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Wilson, M. (1992). Objective measurement: Theory into practice (vol.2). Norwood:
Alex Publishing Corporation.

Witkin, B.R. (1984). Assessing need in educational and social programs. San
Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Worthen, B.R., & Sanders, J.R. (2002). Educational evaluation: Theory and practice.
Worthington: Charles Publishing Company.

METODOLOGI PENELITIAN TINDAKAN KELAS

I. KONSEP DASAR
1.1 Pentingnya Penelitian Tindakan Kelas
Dalam menjalankan tugasnya, secara ideal guru merupakan agen pembaharuan.
Sebagai agen pembaharuan, guru diharapkan selalu melakukan langkah-langkah inovatif
berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukannya.
Langkah inovatif sebagai bentuk perubahan paradigma guru tersebut dapat dilihat dari
pemahaman dan penerapan guru tentang Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK sangat
mendukung program peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang muaranya adalah
peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini, karena dalam proses pembelajaran, guru adalah
praktisi dan teoretisi yang sangat menentukan. Peningkatan kualitas pembelajaran,
merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
(Ipteks) yang semakin pesat. Perkembangan Ipteks mengisyaratkan penyesuaian dan
peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan, sehingga berdampak positif
terhadap peningkatan kualitas lulusan dan keberadaan sekolah tempat guru itu mengajar.
Berdasarkan penjelasan tersebut, peningkatan kompetensi guru merupakan
tanggung jawab moral bagi para guru di sekolah. Peningkatan kompetensi guru mencakup
empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi
sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Berdasarkan UURI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, PPRI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, dan UURI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, peningkatan
kompetensi guru menjadi isu strategis dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Bahkan
menurut PPRI Nomor 19 Tahun 2005 tersebut pada pasal 31 ditegaskan, bahwa selain
kualifikasi, guru sebagai tenaga pendidik juga dituntut untuk memiliki sertifikat
kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkannya.
Upaya peningkatan keempat kompetensi merupakan upaya peningkatan
profesionalisme guru. Peningkatan profesionalisme dapat dicapai oleh guru dengan cara
melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) secara berkesinambungan. Praktik
pembelajaran melalui PTK dapat meningkatkan profesionalisme guru (Ahmar, 2005; Jones
& Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005; McNeiff, 1992). Hal ini, karena PTK dapat
membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah3
pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan
hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada
peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru (Prendergast, 2002).
Lewin (dalam Prendergast, 2002:2) secara tegas menyatakan, bahwa penelitian tindakan
kelas merupakan cara guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan
pengalamannya sendiri atau pengalamannya berkolaborasi dengan guru lain. Sementara itu,
Calhoun dan Glanz (dalam Prendergast, 2002:2) menyatakan, bahwa penelitian tindakan
kelas merupakan suatu metode untuk memberdayakan guru yang mampu mendukung
kinerja kreatif sekolah. Di samping itu, Prendergast (2002:3) juga menyatakan, bahwa
penelitian tindakan kelas merupakan wahana bagi guru untuk melakukan refleksi dan
tindakan secara sistematis dalam pengajarannya untuk memperbaiki proses dan hasil belajar
siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002:3-4) menyatakan bahwa, penelitian tindakan
kelas dapat mengarahkan para guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu
dengan yang lain dengan tujuan tidak hanya tentang program dan metode mengajar, tetapi
juga membantu para guru mengembangkan hubungan-hubungan personal. Pernyataan
Knowles tersebut juga didukung oleh Noffke (Prendergast (2002:5), bahwa penelitian
tindakan kelas dapat mendorong para guru melakukan refleksi terhadap praktek
pembelajarannya untuk membangun pemahaman mendalam dan mengembangkan
hubungan-hubungan personal dan sosial antar guru. Whitehead (1993) menyatakan, bahwa
penelitian tindakan kelas dapat memfasilitasi guru untuk mengembangkan pemahaman
tentang pedagogi dalam rangka memperbaiki pemberlajarannya.
Penjelasan-penjelasan teoretis tersebut mengindikasikan, bahwa pemahaman dan
penerapan PTK akan membantu guru untuk mengembangkan keempat kompetensi yang
dipersyaratkan oleh UURI Nomor 14 Tahun 2005. PTK akan memfasilitasi guru untuk
meningkatkan kompetensi-kompetensi profesional, pedagogi, kepribadian, dan sosial.
Agar PTK tidak lepas dari tujuan perbaikan diri sendiri, maka sebelum seorang
Guru atau para Guru memulai merancang dan melaksanakan PTK, perlu memperhatikan
hal-hal berikut.
1. PTK adalah alat untuk memperbaiki atau menyempurnakan mutu pelaksanaan tugas
sehari-hari (mengajar yang mendidik), oleh karena itu hendaknya sedapat mungkin4
memilih metode atau model pembelajaran yang sesuai yang secara praktis tidak
mengganggu atau menghambat komitmen tugasnya sehari-hari.
2. Teknik pengumpulan data jangan sampai banyak menyita waktu, sehingga tugas utama
Guru tidak terbengkalai.
3. Metodologi penelitian hendaknya memberi kesempatan kepada Guru untuk
merumuskan hipotesis yang kuat, dan menentukan strategi yang cocok dengan suasana
dan keadaan kelas tempatnya mengajar.
4. Masalah yang diangkat hendaknya merupakan masalah yang dirasakan dan diangkat
dari wilayah tugasnya sendiri serta benar-benar merupakan masalah yang dapat
dipecahkan melalui PTK oleh Guru itu sendiri.
5. Sejauh mungkin, PTK dikembangkan ke arah meliputi ruang lingkup sekolah. Dalam
hal ini, seluruh staf sekolah diharapkan berpartisipasi dan berkontribusi, sehingga pada
gilirannya Guru-Guru lain ikut merasakan pentingnya penelitian tersebut. Jika
kepedulian seluruh staf berkembang, maka seluruh staf itu dapat bekerja sama untuk
menentukan masalah-masalah sekolah yang layak dan harus diteliti melalui PTK.
1.2 Pengertian PTK
Penelitian tindakan telah mulai berkembang sejak perang dunia kedua. Oleh sebab
itu, terdapat banyak pengertian tentang PTK. Istilah PTK dideferensiasi dari pengertian-
pengertian berikut.
Kemmis (1992): Action research as a form of self-reflective inquiry undertaken by
participants in a social (including educational) situation in order to improve the
rationality and justice of (a) their on social or educational practices, (b) their
understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are
carried out.
McNeiff (2002): action research is a term which refer to a practical way of looking
at your own work to sheck that it is you would like it to be. Because action research
is done by you, the practitioner, it is often referred to as practitioner based
research; and because it involves you thinking about and reflecting on your work, it
can also be called a form of self-reflective practice.5
Berdasarkan penjelasan Kemmis dan McNeiff tersebut, dapat dicermati pengertian
PTK secara lebih rinci dan lengkap. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang
bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari,
memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki
kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mewujudkan
tujuan-tujuan tersebut, PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari
empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection.
1.3 Karakteristik PTK
Karakteristik PTK yang sekaligus dapat membedakannya dengan penelitian formal
adalah sebagai berikut.
1. PTK merupakan prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk menanggulangi
masalah nyata yang dialami Guru berkaitan dengan siswa di kelas itu. Ini berarti, bahwa
rancangan penelitian diterapkan sepenuhnya di kelas itu, termasuk pengumpulan data,
analisis, penafsiran, pemaknaan, perolehan temuan, dan penerapan temuan. Semuanya
dilakukan di kelas dan dirasakan oleh kelas itu.
2. Metode PTK diterapkan secara kontekstual, dalam arti bahwa variabel-variabel yang
ditelaah selalu berkaitan dengan keadaan kelas itu sendiri. Dengan demikian, temuan
hanya berlaku untuk kelas itu sendiri dan tidak dapat digeneralisasi untuk kelas yang
lain. Temuan PTK hendaknya selalu diterapkan segera dan ditelaah kembali
efektivitasnya dalam kaitannya dengan keadaan dan suasana kelas itu.
3. PTK terarah pada suatu perbaikan atau peningkatan kualitas pembelajaran, dalam arti
bahwa hasil atau temuan PTK itu adalah pada diri Guru telah terjadi perubahan,
perbaikan, atau peningkatan sikap dan perbuatannya. PTK akan lebih berhasil jika ada
kerja sama antara Guru-Guru di sekolah, sehingga mereka dapat sharing permasalahan,
dan apabila penelitian telah dilakukan, selalu diadakan pembahasan perencanaan
tindakan yang dilakukan. Dengan demikain, PTK itu bersifat kolaborasi dan kooperatif.
4. PTK bersifat luwes dan mudah diadaptasi. Dengan demikian, maka cocok digunakan
dalam rangka pembaharuan dalam kegiatan kelas. Hal ini juga memungkinkan6
diterapkannya suatu hasil studi dengan segera dan penelaahan kembali secara
berkesinambungan.
5. PTK banyak mengandalkan data yang diperoleh langsung atas refleksi diri peneliti.
Pada saat penelitian berlangsung Guru sendiri dibantu rekan lainnya mengumpulkan
informasi, menata informasi, membahasnya, mencatatnya, menilainya, dan sekaligus
melakukan tindakan-tindakan secara bertahap. Setiap tahap merupakan tindakan lanjut
tahap sebelumnya.
6. PTK sedikitnya ada kesamaan dengan penelitian eksperimen dalam hal percobaan
tindakan yang segera dilakukan dan ditelaah kembali efektivitasnya. Tetapi, PTK tidak
secara ketat memperdulikan pengendalian variabel yang mungkin mempengaruhi hasil
penelaahan. Oleh karena kaidah-kaidah dasar penelitian ilmiah dapat dipertahankan
terutama dalam pengambilan data, perolehan informasi, upaya untuk membangun pola
tindakan, rekomnedasi dan lain-lain, maka PTK tetap merupakan proses ilmiah.
7. PTK bersifat situasional dan spesisifik, yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk
studi kasus. Subyek penelitian sifatnya terbatas, tidak representatif untuk merumuskan
atau generalisasi. Penggunaan metoda statistik terbatas pada pendekatan deskriptif
tanpa inferensi.
1.4 Prinsip PTK
Menurut Hopkins (1993: 57-61), terdapat 6 prinsip penelitian tindakan kelas.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sebagai seorang guru yang pekerjaan utamanya adalah mengajar, seyogyanya PTK
yang dilakukan tidak mengganggu komitmennya sebagai pengajar. Ada dua hal penting
terkait dengan prinsip ini. Pertama, mungkin metode pembelajaran yang diterapkannya
dalam PTK tidak segera dapat memperbaiki pembelajarannya, atau hasilnya tidak jauh
berbeda dengan metode yang digunakan sebelumnya. Sebagai pertanggungjawaban
profesional, Guru hendaknya selalu secara konsisten menemukan sebabnya, mencari
jalan keluar terbaik, atau menggantinya agar mampu memfasilitasi para siswa dalam
belajar dan meningkatkan hasil belajar secara lebih optimal. Kedua, banyaknya siklus
yang diterapkan hendaknya mengutamakan pada ketercapaian kriteria keberhasilan,
misalnya pembentukan pemahaman yang mendalam (deep understanding) ketimbang7
sekadar menghabiskan kurikulum (content coverage), dan tidak semata-mata mengacu
pada kejenuhan informasi (saturation of information).
2. Teknik pengumpulan data tidak menuntut waktu dan cara yang berlebihan. Sedapat
mungkin hendaknya dapat diupayakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangai
sendiri, sementara Guru tetap aktif sebagai mana biasanya. Teknik pengumpulan data
diuapayakan sesederhana mungkin, asal mampu memperoleh informasi yang cukup
signifikan dan dapat dipercaya secara metodologis.
3. Metodologi yang digunakan hendaknya dapat dipertanggung jawabkan reliabilitasnya
yang memungkinkan Guru dapat mengidentifikasi dan merumuskan hipotesis secara
meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelas, serta
memperoleh data yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesis tindakannya.
Jadi, walaupun terdapat kelonggaran secara metodologis, namun PTK mestinya tetap
dilaksanakan atas dasar taat kaidah keilmuan.
4. Masalah yang terungkap adalah masalah yang benar-benar membuat Guru galau,
sehingga atas dasar tanggung jawab profesional, dia didorong oleh hatinya untuk
memiliki komitmen dalam rangka menemukan jalan keluarnya melalui PTK.
Komitmen tersebut adalah dorongan hati yang paling dalam untuk memperoleh
perbaikan secara nyata proses dan hasil pelayanannya pada siswa dalam menjalankan
tugas-tugas kesehariannya dibandingkan dengan proses dan hasil-hasil sebelumnya.
Dengan demikian, mengajar adalah penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan
dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan sendiri agar mampu melakukan perbaikan
praktiknya.
5. Pelaksanaan PTK seyogyanya mengindahkan tata krama kehidupan berorganisasi.
Artinya, PTK hendaknya diketahui oleh kepala sekolah, disosialisasikan pada rekan-
rekan Guru, dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan, dilaporkan hasilnya
sesuai dengan tata krama penyusunan karya tulis ilmiah, dan tetap mengedepankan
kepentingan siswa layaknya sebagai manusia.
6. Permasalahan yang hendaknya dicarikan solusinya lewat PTK hendaknya tidak terbatas
hanya pada konteks kelas atau mata pelajaran tertentu, tetapi tetap mempertimbangkan
perspektif sekolah secara keseluruhan. Dalam hal ini, pelibatan lebih dari seorang
pelaku akan sangat mengakomodasi kepentingan tersebut.8
1.5 Tujuan PTK
Tujuan PTK dapat digolongkan atas dua jenis, tujuan utama dan tujuan sertaan.
Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tujuan utama pertama, melakukan perbaikan dan peningkatan layanan profesional
Guru dalam menangani proses pembelajaran. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan
melakukan refleksi untuk mendiagnosis kondisi, kemudian mencoba secara sistematis
berbagai model pembelajaran alternatif yang diyakini secara teoretis dan praktis dapat
memecahkan masalah pembelajaran. Dengan kata lain, guru melakukan perencanaan,
melaksanakan tindakan, melakukan evaluasi, dan refleksi.
2. Tujuan utama kedua, melakukan pengembangan keteranpilan Guru yang bertolak dari
kebutuhan untuk menanggulangi berbagai persoalan aktual yang dihadapinya terkait
dengan pembelajaran. Tujuan ini dilandasi oleh tiga hal penting, (1) kebutuhan
pelaksanaan tumbuh dari Guru sendiri, bukan karena ditugaskan oleh kepala sekolah,
(2) proses latihan terjadi secara hand-on dan mind-on, tidak dalam situasi artifisial, (3)
produknyas adalah sebuah nilai, karena keilmiahan segi pelaksanaan akan didukung
oleh lingkungan.
3. Tujuan sertaan, menumbuh kembangkan budaya meneliti di kalangan Guru.
1.6 Manfaat PTK
PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan yang tumbuh dari
bawah, karena Guru adalah ujung tombak pelaksana lapangan. Dengan PTK Guru menjadi
lebih mandiri yang ditopang oleh rasa percaya diri, sehingga secara keilmuan menjadi lebih
berani mengambil prakarsa yang patut diduganya dapat memberikan manfaat perbaikan.
Rasa percaya diri tersebut tumbuh sebagai akibat Guru semakin banyak mengembangkan
sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman praktis. Dengan secara kontinu
melakukan PTK, Guru sebagai pekerja profesional tidak akan cepat berpuas diri lalu diam
di zone nyaman, melainkan selalu memiliki komitmen untuk meraih hari esok lebih baik
dari hari sekarang. Dorongan ini muncul dari rasa kepedulian untuk memecahkan masalah-
masalah praktis dalam kesehariannya.
Manfaat lainnya, bahwa hasil PTK dapat dijadikan sumber masukan dalam rangka
melakukan pengembangan kurikulum. Proses pengembangan kurikulum tidak bersifat9
netral, melainkan dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang saling terkait mengenai hakikat
pendidikan, pengetahuan, dan pembelajaran yang dihayati oleh Guru di lapangan. PTK
dapat membantu guru untuk lebih memahami hakikat pendidikan secara empirik.
1.7 Prosedur PTK
PTK merupakan proses pengkajian suatu masalah pada suatu kelas melalui sistem
daur ulang dari berbagai kegiatan, seperti yang ditunjukkan pada Bagan 01.
Merencanakan ® Melakukan Tindakan ® Mengamati dan menilai ® Merefleksikan
® Merencanakan ® Melakukan Tindakan® Mengamati dan Menilai
® Merefleksikan ® dan seterusnya.
Bagan 01
Daur Ulang dalam Penelitian Tindakan Kelas
Daur tersebut dapat dilaksanakan bertolak dari hasil refleksi diri tentang adanya unsur
ketidakpuasan diri sendiri terhadap kinerja yang dilakukan dan yang dilalui sebelumnya.
Misalnya, Guru sadar bahwa hasil belajar siswa pada bidang studi yang diasuh selalu
terpuruk. Guru saat itu berpikir tentang strategi pembelajaran yang diterapkan selama ini,
fasilitas yang mendukung pelajaran, lalu mencari kelemahan-kelemahan kinerja yang telah
dilakukan yang diduga sebagai penyebab terpuruknya hasil belajar siswa. Untuk
merencanakan tindakan perbaikan, ada beberapa pertanyaan yang dapat membantu Guru,
sebagai berikut. (1) Apa kepedulian anda terhadap kelas itu? (2) Mengapa anda peduli
terhadap hal tersebut? (3) Apa yang menurut pendapat anda, anda dapat lakukan berkenan
dengan hal itu? (4) Bukti-bukti yang bagaimana yang dapat anda kumpulkan untuk
membantu menelaah apa yang terjadi? (5) Bagaimana anda akan mengumpulkan bukti-
bukti itu? (6) Bagaimana anda akan memeriksa bahwa pertimbangan anda mengenai apa
yang terjadi itu cukup tepat dan cermat?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu akan menghasilkan penilaian praktis
tentang situasi yang dihadapi dan menghasilkan pula rencana yang mungkin digunakan
untuk menangani situasi itu. Dalam hal seperti itu, daur ulang yang serupa dengan yang
dikemukakan tersebut terjadi pula, yaitu dengan terjadinya apa yang dirasakan Guru.10
1. Guru mengalami suatu masalah dalam mengajar apabila sistem nilai yang diperoleh
tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum.
2. Guru membayangkan pemecahan masalah tersebut.
3. Guru bertindak sesuai dengan cara pemecahan yang dibayangkan.
4. Guru menilai hasil upaya pemecahan itu.
5. Guru memperbaiki praktik, rencana, dan gagasan-gagasan mengajar dengan strategi
baru sesuai dengan hasil penilaian itu.
6. Guru menerangkan hasil perubahan itu sambil menelaah dampaknya terhadap hasil
kerjanya.
1.8 Proses PTK
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa keseluruhan proses PTK
selengkapnya terdiri atas tahapan-tahapan seperti yang dilukiskan pada Bagan 02, yang
pada pokoknya terdiri dari empat tahapan.
Refleksi Awal
® Penelaahan Lapangan ® Tema Kepedulian
Gagasan Umum ¯
Perencanaan Umum
¯
Perencanaan ® Tindakan
­ ¯
Observasi ¬ Refleksi
Bagan 02
Proses Siklus Penelitian Tindakan kelas
1.8.1 Refleksi Awal, Gagasan Umum, Penelaahan Lapangan,
dan Tema Kepedulian
Keempat tahapan berpikir ini adalah langkah awal yang merupakan akumulasi dan
rasa ketidakpuasan seorang Guru atau hasil renungannya terhadap kinerja yang dilakukan.
Refleksi awal tidak lain merupakan latar belakang masalah untuk melahirkan gagasan11
umum. Penelaahan lapangan adalah keberhasilan dalam mengidentifikasi permasalahan
yang ada. Menganalisis sumber penyebabnya, dan berdasarkan logika ilmiah
diwujudkanlah tema kepedulian yang merupakan permasalahan pokok yang akan diteliti.
Agar hasil penelaahan lapangan dapat seakurat mungkin, maka Guru dianjurkan menyimak
kepustakaan penelitian pendidikan (jurnal dan buku sumber) dan pengalaman pribadinya.
Hal ini akan membantu kerja yang lebih tepat. Di samping itu, kajian kepustakaan akan
menyadarkan Guru ke arah kesiapan pengenalan nilai-nilai pendidikan, nilai-nilai sosial,
minat siswa dan atau kelompok kerjanya, yang semuanya akan mempengaruhi rasionalitas,
keterbukaan, dan keserasian kerja.
Sebagai ilustrasi, misalkan seorang Guru Biologi sangat peduli terhadap hasil belajar
siswanya yang selalu terpuruk (dilihat dari nilai formatif, sumatif, dan ebtanas). Guru mulai
bertanya-tanya mengapa nilai siswa selalu buruk? Padahal pembelajaran telah dilakukan
sesuai dengan tuntutan kurikulum, banyak pembahasan masalah-masalah nyata, sering
ulangan, dan sebagainya. Setelah diselidiki lebih jauh, misalnya dengan mengadakan
wawancara pada beberapa siswa, terungkap bahwa siswa kurang puas dengan model
pembelajaran diskusi biasa yang diterapkan selama ini. Disinyalir bahwa Guru tidak pernah
mengubah cara memfasilitasi pembelajaran, tidak pernah mengajak siswa bereksperimen
atau penyelidikan. Berdasarkan data tersebut, Guru mulai memikirkan tema kepeduliannya,
misalnya Penerapan Model Problem-Based Learning Sebagai Upaya Peningkatan
Kompetensi Dasar Siswa Pada Bidang Studi Biologi. Rumusan-rumusan tema tersebut
selanjutnya dijabarkan ke dalam rumusan masalah, misalnya apakah penerapan model
Problem-Based Learning dapat meningkatkan kompetensi dasar siswa? Bagaimana respon
siswa terhadap pembelajaran biologi dengan model Problem-Based Learning? Untuk
menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Guru hendaknya menyimak tentang
peranan Model Problem-Based Learning dalam peningkatan kompetensi dasar siswa,
sehingga dia dapat merumuskan hipotesis tindakan.
1.8.2 Perencanaan
Perencanaan selalu mengacu kepada tindakan apa yang dilakukan, dengan
mempertimbangkan keadaan dan suasana obyektif dan subyektif. Dalam perencanaan
tersebut, perlu dipertimbangkan tindakan khusus apa yang dilakukan, apa tujuannya.
Mengenai apa, siapa melakukan, bagaimana melakukan, dan apa hasil yang diharapkan.12
Setelah pertimbangan itu dilakukan, maka selanjutnya disusun gagasan-gagasan dalam
bentuk rencana yang dirinci. Kemudian gagasan-gagasan itu diperhalus, hal-hal yang tidak
penting dihilangkan, pusatkan perhatian pada hal yang paling penting dan bermanfaat bagi
upaya perbaikan yang dipikirkan. Sebainya perencanaan tersebut didiskusikan dengan Guru
yang lain unutk memperoleh masukan.
Berkaitan dengan contoh permasalahan dan tema kepedulian yang telah diuarikan
tersebut, alternatif perencanaan untuk melaksanakan PTK adalah menyiapkan rancangan
pembelajaran dan lembaran kerja siswa dengan model Problem-Based Learning,
mengalokasikan waktu sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran model Problem-
Based Learning, menyiapkan pedoman observasi, pedoman penilaian kinerja, , menyiapkan
tes kompetensi kognitif, menyiapkan tes sikap, meyiapkan format observasi, menyiapkan
angket respon siswa.
1.8.3 Pelaksanaan Tindakan
Jika perencanan yang telah dirumuskan sebelumnya merupakan perencanaan yang
cukup matang, maka proses tindakan semata-mata merupakan pelaksanaan perencanaan itu.
Namun, kenyataan dalam praktik tidak sesederhana yang dipikirkan. Oleh sebab itu,
pelaksanaan tindakan boleh jadi berubah atau dimodifikasi sesuai dengan keperluan di
lapangan. Tetapi jangan sampai modifikasi yang dilakukan terlalu jauh menyimpang. Jika
perencanaan yang telah dirumuskan tidak dilaksanakan, maka Guru hendaknya
merumuskan perencanaan kembali sesuai dengan fakta baru yang diperoleh.
Sesuai dengan contoh permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka tindakan
dapat dilakukan sesuai dengan berikut. Pertama-tama Guru menyajikan permasalahan
kepada siswa. Selanjutnya, dia bisa memulai pembelajaran dengan langkah-langkah sesuai
dengan model Problem-Based Learning. Jika perencanaan telah menetapkan pelaksanaan
asesmen kinerja diadakan setiap kali pertemuan, lakukanlah asesmen kinerja tersebut
dengan seksama. Hasil asesmen dianalisis sekaligus diberi komentar pada masing-masing
konsep yang menjadi materi kinerja para siswa. Komentar hendaknya menyatakan
penilaian kuantitatif pada setiap tahap yang dikehendaki secara logis. Komentar berikut
nilai dikembalikan kepada siswa untuk dibahas pada pertemuan berikutnya. Agar waktunya
efisien, maka diadakan identifikasi kesalah pahaman siswa sekaligus dapat dikelompokkan13
jenis-jenis kesalah pahaman tersebut. Setelah pembahasan tentang hasil asesmen tersebut
selesai, mulailah pembelajaran topik baru, dan demikian seterusnya.
1.8.4 Observasi dan Evaluasi
Hal yang tidak bisa dilupakan, bahwa sambil melakukan tindakan hendaknya juga
dilakukan pemantauan secara cermat tentang apa yang terjadi. Dalam pemantauan itu,
lakukan pencatatan-pencatatan sesuai dengan form yang telah disiapkan. Catat pula
gagasan-gagasan dan kesan-kesan yang muncul, dan segala sesuatu yang benar-benar
terjadi dalam proses pembelajaran. Secara teknis operasional, kegiatan pemantauan dapat
dilakukan oleh Guru lain. Di sinilah letak kerja kolaborasi antar profesi. Namun, jika
petugas pemantau itu bukan rekanan peneliti, sebaiknya diadakan sosialisasi materi
pemantauan untuk menjaga agar data yang dikumpulkan tidak terpengaruh minat
pribadinya. Untuk memperoleh data yang lebih obyektif, Guru dapat menggunakan alat-alat
optik atau elektronik, seperti kamera, perekam video, atau perekam suara. Pada setiap kali
akan mengakhiri penggalan kegiatan, lakukanlah evaluasi terhadap hal-hal yang telah
direncanakan. Jika observasi berfungsi untuk mengenali kualitas proses tindakan, maka
evaluasi berperanan untuk mendeskripsikan hasil tindakan yang secara optimis telah
dirumuskan melalui tujuan tindakan.
Seacara ilustratif, berkaitan dengan contoh permasalahan yang telah diungkapkan
sebelumnya, maka pemantauan dilakukan untuk mengamati selama pembelajaran,
mengamati interaksi selama proses penyelidikan berlangsung, mengamati respon siswa
terhadap proses pembelajaran. Sedangkan evaluasi ditujukan kepada hasil belajar siswa
melalui asesmen kinerja, portofolio, tes, dan respon siswa melalui penyebaran angket.14
1.8.5 Refleksi
Refleksi adalah suatu upaya untuk mengkaji apa yang telah terjadi, yang telah
dihasilkan, atau apa yang belum dihasilkan, atau apa yang belum tuntas dari langkah atau
upaya yang telah dilakukan. Dengan perkataan lain, refleksi merupakan pengkajian
terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan. Untuk maksud ini, Guru
hendaknya terlebih dahulu menentukan kriteria keberhasilan. Refleksi terdiri atas 5
komponen. Komponen-komponen tersebut dilukiskan pada Bagan 03.
Analisis ® Sintesis ® Pemaknaan ® Penjelasan ® Penyusunan
Kesimpulan
Bagan 03
Komponen-komponen Refleksi dalam PTK
Kelima komponen itu dapat terjadi secara berurutan, atau terjadi bersamaan. Apabila Guru
selaku pelaksana PTK telah memiliki gambaran menyeluruh mengenai apa yang terjadi
pada fase sebelumnya, maka kalau dia ingin melanjutkan tindakan berikutnya, dia harus
memikirkan faktor-faktor penyebabnya. Pengkajian seperti itu dilakukan dengan tetap
memperhatikan ke seluruhan tema kepedulian PTK yang sedang berjalan dan tentu saja
dengan memperhatikan tujuan yang ingin dicapai atau perubahan yang diharapkan. Dalam
rangka menetapkan tindakan selanjutnya, Guru hendaknya jangan semata-mata terpaku
kepada faktor-faktor penyebab yang berhasil dianalisis, tetapi yang lebih penting adalah
penetapan langkah berikutnya merupakan hasil renungan kembali mengenai kekuatan dan
kelemahan tindakan yang telah dilakukan, perkiraan peluang yang akan diperoleh, kendala
atau kesulitan bahkan ancaman yang mungkin dihadapi. Hasil refleksi hendaknya
didiskusikan sebelum diambil suatu keputusan, lebih-lebih hasil refleksi yang akan
digunakan sebagai dasar kesimpulan dan rekomendasi.
Berikut disajikan contoh ilustrasi refleksi. Misalkan hasil observasi terungkap bahwa
dari strategi (misalkan diskusi kelas) yang telah digunakan dalam pembelajaran, ternyata
siswa ribut, kurang bertanggung jawab, kesiapannya kurang. Hasil observasi terhadap
proses pembahasan hasil asesmen diperoleh data bahwa siswa kurang aktif berinteraksi
terhadap materi pelajaran, temannya, dan terhadap Guru. Hasil analisis kompetnsinya15
terungkap masih rendah (belum mencapai target minimal). Respon siswa tidak bisa
mengikuti pembelajaran secara optimal dalam waktu singkat, sulit mendapat giliran dalam
diskusi kelas, tidak ada kesesuaian antara materi diskusi dengan materi tes, dan lain-lain.
Terhadap semua data tersebut, maka Guru melakukan refleksi. Misalnya diskusi kelas
diubah menjadi diskusi kelompok, lebih banyak menyiapkan pertanyaan-pertanyaan dalam
diskusi, memberikan tugas sebelumnya kepada siswa, menunjuk secara bergiliran siswa
untuk mengerjakan tugas sekaligus dinilai secara kualitatif atau kuantitatif, hasil asesmen
didiskusikan kepada siswa sebelum pembelajaran berikutnya, sasaran belajar dirumuskan
secara realistis yang mudah diukur, dan lain-lain.16
II. TEKNIK PENYUSUNAN PROPOSAL
Substansi secara umum, sistematika proposal penelitian tindakan kelas terdiri dari
komponen-komponen berikut: (1) judul, (2) latar belakang masalah, (3) identifikasi
masalah, (4) pembatasan dan perumusan masalah, (5) cara pemecahan masalah, (6) tujuan
tindakan, (7) manfaat tindakan, (8) krangka konseptual dan hipotesis tindakan, (9) metode
penelitian. Metode penelitian mencakup unsur-unsur: (a) subjek dan objek penelitian, (b)
rancangan penelitian, yang mencakup: perencanaan, tindakan, pengamatan, refleksi,
perencanaan ulang, dst, (c) instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data, (d) analisis
data dan kriteria keberhasilan.
2.1 Judul Penelitian
Judul hendaknya dibuat secara ringkas dan mencerminkan tindakan, perbaikan
pembelajaran, dan subyek sasaran.
Contoh:
(1) Penerapan model group investigation untuk meningkatkan keterampilan berpikir
kritis dalam pembelajaran matematika bagi siswa kelas VIII SMPN 2 Nusa Penida.
Pada contoh nomor 1, sebagai tindakan adalah model group investigation, perbaikan
pembelajaran yang diharapkan adalah peningkatan keterampilan berpikir kritis
siswa dalam pembelajaran matematika, dan subyek sasaran adalah siswa kelas VIII
SMPN 2 Nusa Penida.
(2) Penerapan model project-based learning untuk meningkatkan hasil pembelajaran
menulis bagi siswa kelas IX SMPN 5 Nusa Penida.
Pada contoh nomor 2, sebagai tindakan adalah model project-based learning,
perbaikan pembelajaran yang diharapkan adalah peningkatan hasil pembelajaran
menulis, dan subyek sasaran adalah siswa kelas IX SMPN 5 Nusa Penida.
2.2 Latar Belakang Masalah
Uraian latar belakang masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam PTK.
Uraian tersebut mendeskripsikan permasalahan real yang dialami oleh guru dalam
pembelajaran. Secara umum, masalah biasanya muncul disebabkan oleh tiga faktor. (1)
Masalah berkaitan dengan karakter mata pelajaran atau pokok bahasan dari mata17
pelajaran tersebut. Dalam hal ini, guru mencermati tingkat kesulitan materi pelajaran,
sehingga memerlukan pemecahan secara khusus melalui PTK. (2) Masalah berkaitan
dengan faktor internal siswa. Termasuk dalam hal ini, adalah kurangnya minat dan
bakat siswa terhadap pelajaran, rendahnya motivasi belajar, dan rendahnya hasil belajar
siswa, semuanya memerlukan penanganan secara profesional melalui PTK. (3)
Masalah yang berkaitan dengan fakror internal guru. Termasuk dalam hal ini, adalah
kurangnya penguasaan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkan dan penguasaan
guru dalam mendesain, mengembangkan, menerapkan, mengelola, dan mengevaluasi
proses dan sumber belajar. Faktor-faktor internal guru tersebut juga memerlukan
refleksi secara obyektif dan melakukan tindakan sebagai akibat dorongan dari dalam
diri untuk melakukan perbaikan diri yang akan bermuara pada peningkatan mutu
pelayanan, proses, dan hasil belajar siswa.
Secara metodologis, ada enam pertanyaan yang jawabannya akan menuntun dalam
penyusunan latar belakang masalah PTK, yaitu: (1) apa yang menjadi harapan? (2) apa
kenyataan yang terjadi (3) apa kesenjangan yang dirasakan, (4) apa yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan (5) tindakan apa yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan
(6) apa kekuatan tindakan yang dilakukan tersebut dalam mengatasi kesenjangan?
2.3 Identifikasi Masalah
Sesungguhnya, identifikasi masalah telah disinggung ketika peneliti mengungkap
jawaban terhadap pertanyaan “apa kesenjangan yang terjadi”) dan pertanyaan “apa yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan”. Namun, untuk lebih memperjelas, identifikasi
masalah diungkapkan kembali secara tersendiri.
2.4 Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian lebih terarah dan jelas skupnya, maka masalah yang telah diidentifikasi
perlu dibatasi. Pembatasan masalah ditujukan pada objek penelitian, yaitu objek
tindakan dan objek hasil tindakan. Batasan terhadap objek tindakan dilakukan dengan
memberikan penjelasan istilah secara konseptual, sedangkan batasan masalah terhadap
objek hasil tindakan dilakukan dengan menyajikan definisi operasional. Definisi
operasional mengarah pada pengukuran. Setelah masalah dibatasi dengan cermat, maka18
diajukan rumusan masalah. Rumusan masalah penelitian tindakan kelas dinyatakan
dalam kalimat tanya. Esensinya adalah menanyakan apakah tindakan dapat melakukan
perbaikan pembelajaran. Terkait dengan contoh judul 1, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut.
Bagaimana model pembelajaran group investigation dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika?
2.5 Cara Pemecahan Masalah
Cara pemecahan masalah yang diungkapkan adalah ringkasan dari kerangka konseptual.
Ringkasan ini menampilkan bagian-bagian esensial dari kerangka konseptual yang
dapat mencerminkan alternatif tindakan yang akan dilakukan. Walaupun cara
pemecahan masalah ini masih dalam bentuk konsepsi, namun tetap dapat melukiskan
jawaban terhadap masalah yang diajukan. Terkait dengan contoh judul nomor 1, maka
cara pemecahan masalahnya adalah sebagai berikut.
Untuk memecahkan masalah tersebut, digunakan model group investigation. Secara
konseptual, model group investigation terdiri dari 6 langkah pembelajaran, (1)
grouping, (2) planning, (3) investigating, (4) organizing, (5) presenting, dan (6)
evaluating. Keenam langkah pembelajaran tersebut mencerminkan konteks (grouping
dan planning), input (grouping dan planning), proses (investigating, organizing,
presenting, dan evaluating), dan produk (evaluating). Dalam rangka memecahkan
masalah secara lebih optimal, penerapan model group investigation dipadukan dengan
evaluasi model CIPP. Perpaduan antara model group investigation dan evaluasi model
context—input—process--product (CIPP) memberi peluang kepada siswa untuk
menggunakan keterampilan-keterampilan berpikirnya secara optimal. Oleh sebab itu,
penerapan model group investigation diyakini dapat keterampilan berpikir siswa.
2.6 Tujuan Tindakan
Tujuan penelitian tindakan diungkapkan dalam kalimat pernyataan. Tujuan
diungkapkan secara optimis bahwa perbaikan pembelajaran dapat dilakukan dengan
tindakan yang diadopsi tersebut. Terkait dengan contoh judul 1, maka rumusan tujuan
penelitian adalah sebagai berikut.19
Meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran
matematika kelas VIII SMPN 2 Nusa Penida dengan model pembelajaran
group investigation.
2.7 Manfaat Tindakan
Dalam penelitian tindakan kelas, Guru atau peneliti secara tidak langsung akan
mengembangkan perangkat-perangkat pembelajaran (suplemen buku ajar, desain
pembelajaran, perangkat keras dan atau perangkat lunak praktikum, alat evaluasi, dan
lain-lain) yang koheren dengan teori yang mendasari tindakan. Rumuskan manfaat
perangkat-perangkat pembelajaran tersebut kaitannya dengan upaya melakukan
perbaikan pembelajaran. Di samping itu, Guru atau peneliti akan berhasil
mengeksplorasi atau mengungkap temuan data atau fakta empiris. Lakukan prediksi
terhadap data atau fakta empiris tersebut dan rumuskan manfaatnya. Semua manfaat
yang dirumuskan tersebut dispesifikasi untuk siswa, Guru, peneliti, sekolah, atau pihak-
pihak lain yang berkepentingan.
2.8 Krangka Konseptual
Kerangka konseptual sangat penting untuk diformulasikan. Kerangka konseptual
merupakan landasan yang kuat dilakukannya tindakan tersebut. Dengan dasar
konseptual peneliti yakin dapat melakukan perbaikan pembelajaran. Kerangka
konseptual hendaknya diformulasikan sejelas-jelasnya, karena rumusan tersebut akan
digunakan sebagai dasar dalam menentukan perencanaan, langkah-langkah operasional
tindakan, dan evaluasi. Jadi, kerangka konseptual mendasari rencana tindakan,
pelaksanaan tindakan, dan evaluasi tindakan. Oleh sebab itu, kerangka konseptual
seyogyanya dibuat secara spesifik dan memiliki keunggulan teoretik dibandingkan
dengan perspektif yang mengalami anomali ketika peneliti mencermati permasalahan.
Kerangka konseptual hendaknya merupakan kombinasi antara reviu teoretis dan
empiris. Pertemuan antara landasan teori dan pengalaman empiris tersebut akan
melahirkan kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan dapat melakukan perbaikan
terhadap pembelajaran yang dilakukan. Kesimpulan tersebut merupakan hipotesis
tindakan. Terkait dengan contoh judul nomor 1, kerangka konseptual baik teoretis20
maupun empiris yang perlu direviu adalah: (1) karakteristik pembelajaran matematika,
(2) proses pembelajaran, (3) model pembelajaran group investigation, (4) evaluasi CIPP
dan kaitannya dengan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar.
Kerangka konseptual seyogyanya diakhiri dengan kerangka berpikir. Kerangka berpikir
merupakan preskripsi yang disusun sendiri oleh peneliti (guru) berdasarkan kerangka
konseptual yang telah disusun. Preskripsi tersebut menggambarkan keefektifan
hubungan secara konseptual antara tindakan yang dilakukan dan hasil-hasil tindakan
yang diharapkan. Akan lebih jelas, apabila kerangka berpikir dilukiskan dengan
diagram balok.
2.9 Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan diungkapkan dalam bentuk kalimat pernyataan yang merupakan
jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan. Hipotesis menyatakan secara tegas
bahwa tindakan yang dilakukan dapat melakukan perbaikan pembelajaran. Terkait
dengan contoh judul 1, maka rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut.
Penerapan model pembelajaran group investigation dengan pemberdayaan
evaluasi CIPP dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dalam
pembelajaran matematika bagi siswa kelas VIII SMPN 2 Nusa Penida.
2.10 Cara Penelitian
Cara penelitian yang akan dijelaskan adalah: (1) rancangan penelitian, (2) subjek dan
objek penelitian, (3) prosedur penelitian, (4) instrumen penelitian, (5) teknik
pengumpulan data, (6) teknik analisis data, (7) kriteria keberhasilan tindakan.
2.11 Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang dimaksud adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Cuman
yang perlu ditekankan adalah rancangannya akan ditetapkan berapa siklus dalam
penelitian itu. Hal tersebut adalah otoritas peneliti, karena hanya peneliti yang tahu.
Hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan banyaknya siklus
adalah: waktu yang tersedia, panjangnya pokok bahasan, karakteristik materi, siswa
semester berapa yang akan menjadi subyek, dan sebagainya. Secara teoretis,21
sesungguhnya siklus PTK tidak harus ditetapkan terlebih dulu. Banyaknya siklus yang
akan dilaksanakan sangat tergantung pada tingkat ketercapaian kriteria keberhasilan.
Jika penelitian dalam dua siklus telah mencapai kriteria keberhasilan, maka penelitian
dapat dihentikan. Namun, jika dilihat dari beragamnya karakteristik materi pelajaran,
keberhasilan pada siklus sebelumnya tidaklah 100% akan menjadi jaminan bagi
keberhasilan siklus berikutnya, oleh karena peneliti akan banyak berurusan dengan
karakteristik materi pelajaran yang sering berbeda. Di samping itu, PTK tidak bertujuan
memenuhi keinginan peneliti, tetapi bertujuan lebih memuaskan subyek sasaran yang
akan belajar pada sejumlah silabus dengan karakteristik materi yang beragam. Itulah
sebabnya penentuan jumlah siklus tetap menjadi otoritas peneliti. Tetapi yang tidak
dapat dilupakan, bahwa setiap siklus akan selalu terdiri dari 4 langkah, yaitu: (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi/evaluasi, dan (4) refleksi.
2.12 Subjek dan objek penelitian
Subjek penelitian adalah orang yang dikenai tindakan. Dalam konteks pendidikan di
sekolah, subjek penelitian adalah siswa, guru, pegawai, atau kepala sekolah. Dalam
kontek pembelajaran di sekolah, subjek penelitian umumnya adalah siswa. Tetapi harus
dijelaskan siswa kelas berapa, semester berapa pada tahun akademik tertentu, hal ini
karena terkait dengan asal masalah yang dirasakan oleh Guru bersangkutan. Jika
masalah dirasakan di kelas VIII semester I, maka sebagai subyek penelitian adalah
siswa kelas VIII semester I. Tentunya, klarifikasi mengapa siswa di kelas VIII semester
I itu digunakan sebagai subjek, harus diungkapkan secara jelas.
Objek penelitian dibedakan atas dua macam, yaitu (1) objek yang mencerminkan proses
dan (2) objek yang mencerminkan produk. Objek yang mencerminkan proses
merupakan tindakan yang dilakukan berikut perangkat-perangkat pendukungnya.
Sedangkan objek yang mencerminkan produk merupakan masalah pembelajaran yang
diharapkan mengalami perbaikan dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang
dilakukan. Tanggapan siswa cukup penting diperhitungkan sebagai objek penelitian,
karena esensi penelitian tindakan kelas adalah students satisfaction. Tanggapan siswa
tersebut juga dapat mencerminkan secara tidak langsung mengenai proses tindakan.22
Tanggapan positif mencerminkan proses pembelajaran yang kondusif, sedangkan
tanggapan negatif mencerminkan proses pembelajaran yang kurang kondusif.
Tekait dengan contoh judul nomor 1, maka sebagai subjek penelitian adalah siswa kelas
VIII semester I SMPN 2 Nusa Penida pada tahun pelajaran 2007/2008. Sebagai objek
penelitian, adalah: model group investigation, keterampilan berpikir kritis siswa, dan
tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan.
2.13 Prosedur penelitian
Yang dimaksud prosedur penelitian adalah langkah-langkah operasional baik yang
terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi, maupun refleksi.
Langkah-langkah operasional tersebut bersumber dari kerangka konseptual yang
diuraikan pada bagian sebelumnya.
Perencanaan. Uraikan langkah-langkah kolaborasi yang dilakukan, fakta-fakta empiris
yang diperlukan dalam rangka tindakan, sosialisasi esensi tindakan dan skenario
pembelajaran yang akan dilaksanakan pada guru sejawat dan siswa, perangkat-
perangkat pembelajaran yang perlu disiapkan dan dikembangkan, lembaran-lembaran
evaluasi dan instrumen lain berikut kriteria penilaian yang akan disiapkan dan
dikembangkan.
Pelaksanaan. Uraikan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan skenario yang
telah dikembangkan pada langkah perencanaan. Langkah-langkah pembelajaran ini
akan sesuai dengan hakikat teori yang mendasari strategi pembelajaran, atau sesuai
dengan sintaks model pembelajaran yang diadaptasi. Langkah-langkah pembelajaran
tersebut hendaknya dibuat secara rinci, karena akan mencerminkan kualitas proses
pembelajaran yang akan dihasilkan.
Observasi/Evaluasi. Observasi dilakukan terhadap interaksi-interaksi akademik yang
terjadi sebagai akibat tindakan yang dilakukan. Interaksi-interaksi yang dimaksud dapat
mencakup interaksi antara siswa dengan materi pelajaran, interaksi antar siswa,
interaksi antara siswa dengan guru. Oleh sebab itu, uraian secara jelas tindakan yang23
dilakukan tertuju pada interaksi yang mana saja, bagaimana melakukan observasi,
seberapa sering obserbasi itu dilakukan, dan apa tujuan observasi tersebut. Observasi
yang utuh akan mencerminkan proses tindakan yang berlangsung. Untuk memperoleh
data yang lebih akurat, observasi sering dilengkapi dengan perekaman dengan tape atau
video. Evaluasi biasanya dilakukan untuk mengukur obyek produk, misalnya kualitas
proses pembelajaran, sikap siswa, kompetensi praktikal, atau tanggapan siswa. Untuk
itu, uraikan evaluasi yang dilakukan, jenisnya dan tujuannya, dan untuk mengukur apa
evaluasi itu dilakukan.
Refleksi. Hasil observasi dan evaluasi selanjutnya direfleksi tingkat ketercapaiannya
baik yang terkait dengan proses maupun terhadap hasil tindakan. Refleksi ini bertujuan
untuk memformulasikan kekuatan-kekuatan yang ditemukan, kelemahan-kelemahaman
dan atau hambatan-hambatan yang mengganjal upaya dalam pencapaian tujuan secara
optimal, dan respon siswa. Refleksi ini harus dijelaskan secara rinci. Tujuannya adalah
untuk melakukan adaptasi terhadap strategi/pendekatan/metode/model pembelajaran
yang diterapkan, lebih memantapkan perencanaan, dan langkah-langkah tindakan yang
lebih spesifik dalam rangka pelaksanaan tindakan selanjutnya.
2.14 Instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data
Instrumen sangat terkait dengan obyek penelitian, utamanya obyek produk. Instrumen-
instrumen tersebut misalnya: pedoman observasi, checklist, pedoman wawancara, tes,
angket, dan lain-lain. Uraikan instrumen yang diperlukan sesuai dengan PTK yang akan
diakukan. Untuk contoh judul PTK yang pertama, maka instrumen yang diperlukan
adalah: pedoman penilaian tentang kinerja dan portofolio siswa, baik yang terkait
dengan konteks, input, proses, maupun yang terkait dengan produk yang dihasilkan.
Dalam contoh ini, kriteria penilaian (rubrik) mutlak diperlukan. Teknik pengumpulan
data menekankan secara lebih spesifik tentang cara mengumpulkan data yang
diperlukan. Apabila data yang diperlukan adalah kompetensi praktikal siswa di
laboratorium, maka teknik pengambilan datanya adalah observasi. Apabila data yang
akan dikumpulkan adalah hasil belajar kognitif, maka teknik pengumpulannya adalah
tes lisan atau tes tertulis, portofolio, atau asesmen otentik. Apabila data yang akan24
dikumpulkan adalah respon siswa, maka tekniknya adalah angket atau wawancara, dan
seterusnya. Uraikanlah teknik pengumpulan data yang diperlukan sesuai dengan tujuan
PTK.
2.15 Teknik analisis data dan kriteria keberhasilan
Data yang telah dikumpulkan harus dianalisis. Analisis hanya bersifat kualitatif. Jika
ada data kuantitatif, analisisnya paling banyak menggunakan statistik deskriptif dengan
penyimpulan lebih mendasarkan diri pada nilai rata-rata dan simpangan baku amatan
atau persentase amatan. Hasil analisis data kualitatif dikonsultasikan dengan makna
kualitatif yang mencerminkan struktur dasar terhadap jawaban masalah penelitian.
Misalnya, bagaimana metode demontrasi dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam
belajar? Hasil analisis data hendaknya dikonsultasikan dengan makna demonstrasi
secara aktual, bukan pikiran guru atau pengamat lainnya. Hasil analisis kuantitaif,
selanjutnya dikonsultasikan pada pedoman konversi. Dalam PTK biasanya digunakan
pedoman konversi nilai absolut skala lima. Misalnya, data hasil belajar, pedoman
konversinya adalah sebagai berikut.
Interval Kualifikasi
0 – 39,9 Sangat kurang
40,0 – 54,9 Kurang
55,0 – 69,9 Cukup
70,0 – 84,5 Baik
85,0 – 100 Sangat baik
Sebagai kriteria keberhasilan, peneliti dapat menetapkan nilai rata-rata minimal 55,0
atau 70,0 tergantung rasional yang dijadikan dasar atau Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yang ditetapkan oleh guru.
Di samping itu, kriteria ketuntasan belajar juga dapat dijadikan kriteria keberhasilan.
Misalnya, ketuntasan individual adalah nilai 7,5 pada skala 11 dan ketuntasan klasikal
85%, dan seterusnya.25
DAFTAR RUJUKAN
Kirkey, T. L. 2005. Differentiated instruction and enrichment opportunities: An action
research report. http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V833E.pdf
McNiff, J. 1992. Action research: Principles and practice. London: Routledge
McNiff, J. 1992. Action research for professional development: Concise advise for new
action esearchers. http://www.jeanmcneiff.com/booklet1.html
McIntosh, J. E. 2005. Valuing the collaborative nature of professional learning
communities. http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V82E.pdf
Prendergast, M. 2002. Action research: The improvement of student and teacher learning.
http://educ.queensu.ca/~ar/reports/MP2002.htm
Ryan, Thomas G. 2002. Action research: Collecting and analyzing data. http://www.
nipissingu.ca.oar/Reports/reports_and_document-Thomas_G_Ryan%20.pdf
Jones, P., & Song, L. 2005. Action research fellows at Towson University.
http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V832E.pdf
Stringer, R. T. 1996. Action research: A handbook for practitioners. London: International
Educational and Profesional Publisher.26
CONTOH SISTEMATIKA PROPOSAL
HALAMAN DEPAN i
HALAMAN PENGESAHAN ii
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 3
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah 4
1.4 Tujuan Penelitian 4
1.5 Manfaat Hasil Penelitian 5
2. KAJIAN PUSTAKA 7
2.1 dst
2.2
2.3
....
2... Kerangka Berpikir
2... Hipotesis Tindakan
3. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
3.2 Subjen dan Objek Penelitian
3.3 Prosedur Penelitian
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.5 Metode Analisis Data dan Kriteria Keberhasilan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN27
FORMAT COVER PROPOSAL
Logo
Kabupaten
USULAN
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Oleh
............................................................
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG
DINAS PENDIDIKAN
SEKOLAH DASAR ......................................................................
.... (Bulan), 2007
Judul Penelitian28
FORMAT HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
TAHUN ANGGARAN 2007
1. Judul Penelitian :
2. Peneliti
a. Nama Lengkap dengan Gelar :
b. Pangkat, Golongan, NIP :
c. Jabatan Fungsional :
d. Nama Sekolah :
Alamat Sekolah :
Nomor Telepon Sekolah :
e. Alamat Rumah :
Nomor Telepon Rumah :
Nomor HP :
f. Mata Pelajaran Yang Menjadi :
Obyek Penelitian :
3. Lokasi Penelitian :
4. Lama Penelitian : ... (...) bulan, dari bulan ... s.d ... 2007
5. Biaya Penelitian : Rp .........................................................
( ............................................................)
Klungkung, ..................... 2007
Mengetahui: Peneliti,
Kepala Sekolah .....................
..................................................... ....................................................
NIP ............................................ NIP ...........................................
Menyetujui:
Kepala Dinas Kabupaten Klungkung,
..........................................................
NIP .................................................